Hari itu, seperti pagi-pagi lainnya, aku bangun pukul 03.15 WIB. Setelah mencuci muka dan mempersiapkan perlengkapan, aku segera menuju ke tempat agen koran yang berada tidak jauh dari rumahku di daerah Bronggalan Sawah, Surabaya. Aku adalah seorang loper koran, yang setiap hari mengantarkan surat kabar kepada pelanggan setia. Tugasku dimulai sebelum matahari terbit, ketika sebagian besar orang masih terlelap dalam tidur.
Biasanya, mobil boks dari Jawa Pos tiba di agen sekitar pukul 03.30 WIB. Aku dan beberapa loper lain akan segera menyambutnya, lalu membagi-bagi tumpukan koran sesuai rute masing-masing. Namun, pagi itu tidak seperti biasanya. Waktu sudah menunjukkan pukul 03.45 WIB, namun belum ada tanda-tanda suara mesin boks yang biasa membelah sunyi dini hari.
Aku mondar-mandir di depan agen, menahan kantuk yang mulai kembali menyerang. Rasa cemas perlahan merambat. Semakin lama aku menunggu, semakin sempit pula waktu yang kumiliki untuk mendistribusikan koran. Akhirnya, sekitar pukul 04.05 WIB, mobil boks itu baru datang. Sopirnya turun tergesa-gesa, meminta maaf karena ada masalah teknis di percetakan yang membuat pengiriman molor dari jadwal.
Aku buru-buru mengambil jatahku yakni 65 eksemplar koran yang harus kukirimkan pagi itu juga. Aku menumpuk koran itu di keranjang di sepeda pancalku yang selama ini setia menemaniku menembus jalanan kota. Tanpa buang waktu, aku mengayuh pedal menyusuri rute yang sudah menjadi hafalan dalam otakku.
Dari Bronggalan Sawah, aku mengayuh menuju Ploso Timur, menyusuri jalanan yang masih basah oleh embun. Udara pagi cukup dingin, namun pikiranku dipenuhi dengan rasa cemas: akankah aku terlambat lagi mengirim koran ke pelanggan?
Setelah Ploso Timur, aku lanjut ke daerah Lebak Arum. Di sana, beberapa pelanggan sudah menunggu di depan pagar. Wajah mereka menunjukkan ekspresi kecewa.
"Mas, kok telat lagi, ya?" kata seorang ibu setengah berteriak sambil menatap jam tangannya.
Aku hanya bisa tersenyum kaku sambil meminta maaf. Aku jelaskan soal keterlambatan mobil boks tadi, tapi aku tahu, bagaimanapun alasannya, pelanggan tetap ingin korannya datang tepat waktu.
Aku mengayuh lagi ke arah Gading Pantai, melewati perumahan TNI AL. Beberapa anjing jalanan menggonggong saat aku lewat. Di jalan yang agak sempit, aku harus berhati-hati agar koran tidak jatuh dari keranjang belakang. Terakhir, aku masuk ke area perumahan Pantai Mentari, titik akhir rute panjangku. Saat jam menunjukkan pukul 06.35 WIB, baru semua koran selesai aku antar.
Itu adalah salah satu pagi yang melelahkan sekaligus mengecewakan. Keterlambatan bukan sepenuhnya salahku, namun sebagai loper koran, aku yang menanggung langsung amarah pelanggan. Meski begitu, aku tetap menjalani pekerjaan ini dengan sepenuh hati. Setiap pagi, setiap hari, selama satu bulan. aku terus mengayuh sepeda panjangku, membagikan berita dari rumah ke rumah, berharap esok hari semuanya bisa kembali tepat waktu.