Sabtu, 31 Mei 2025

Kebijakan Tasrih Haji 2025: Antara Regulasi dan Reaksi Sosial


Pemerintah Arab Saudi semakin memperketat regulasi dalam pelaksanaan ibadah haji tahun 2025. Salah satu kebijakan utama adalah seleksi ketat antara jamaah haji yang legal secara dokumen dengan yang ilegal. Prosedur legal kini menuntut jamaah untuk memiliki visa haji resmi serta dokumen tasrih haji (izin resmi melaksanakan haji).

Kamis, 29 Mei 2025

Bagian 6: Senja yang Pulang, Malam yang Tenang



Kami meninggalkan Pantai Siung menjelang senja, saat langit mulai berubah warna menjadi ungu gelap, dan matahari perlahan tenggelam ke balik bukit karang. Mobil melaju pelan melewati jalan berkelok, membelah heningnya kawasan pesisir. Tak banyak kata yang terucap di dalam kabin—masing-masing dari kami masih larut dalam keindahan pantai dan damainya sore tadi.

Bagian 5 : Dari Pinus ke Ombak Pantai

 

Setelah puas menyerap kesejukan dan keindahan Hutan Pinus Mangunan, serta memori-memori visual yang berhasil ditangkap oleh kamera istri saya, kami kembali ke mobil, membiarkan AC mendinginkan tubuh yang mulai hangat oleh matahari jelang siang. Tapi perjalanan kami belum berakhir—justru petualangan berikutnya baru dimulai.
Tujuan kami selanjutnya adalah Pantai Siung, sebuah pantai cantik di pesisir selatan Gunungkidul yang dikenal dengan tebing karangnya dan deru ombak Samudera Hindia yang gagah.

Bagian 4: Melintasi Imogiri, Menuju Hutan yang Sunyi


Pagi hari di Prawirotaman datang dengan angin lembut dan suara burung yang bersahutan dari pepohonan di sekitar penginapan. Udara masih segar, belum bercampur debu dan panas jalanan kota. Setelah tidur yang nyenyak dan mandi air hangat, kami berdua siap untuk memulai hari baru dalam petualangan kecil ini. Tujuan pagi ini adalah tempat yang sejak lama kami incar: Hutan Pinus Mangunan, yang berada sekitar 40 kilometer di selatan kota.

Bagian 3: Becak, Macet, dan Riuhnya Prawirotaman

 

Setelah makan siang yang memanjakan lidah di Gudeg Bu Nur, kami kembali ke pelataran stasiun dengan perut kenyang dan hati senang. Udara Jogja siang itu memang terik, tapi semangat kami belum surut. Tujuan selanjutnya adalah menuju penginapan kami di kawasan Prawirotaman, yang sudah kami pesan sebelumnya.

Bagian 2 : Jejak Pertama Di Stasiun Lempuyangan

Kereta Pasundan akhirnya melambat, suara rem dan deru roda besi di atas rel menyambut kami dengan gaya khas stasiun-stasiun lama: penuh sejarah, hangat, dan sedikit bising. Stasiun Lempuyangan berdiri kokoh di depan mata, dengan langit Yogyakarta yang kini terang sepenuhnya. Sinar matahari menyorot dari sela-sela atap peron, menciptakan bayangan yang memanjang, seolah ikut menyambut kedatangan para penumpang.

Bagian 1: Menyusuri Pagi Bersama Pasundan

Langit Surabaya masih membalutkan warna lembutnya ketika kami tiba di Stasiun Gubeng. Waktu masih menunjukkan pukul empat lebih sedikit, tapi denyut kehidupan di stasiun sudah menggeliat. Kami menggenggam erat tiket yang sudah dipesan jauh hari, berjalan beriringan menuju counter boarding pass, melewati deretan penumpang lain yang tampak terburu-buru namun tetap tertib. Ada yang sibuk dengan kopernya, ada pula yang masih memejamkan mata, duduk bersandar dengan ransel sebagai bantal darurat.

Haji Tanpa Tasrih: Antara Syariat, Aturan, dan Risiko Fatal

Ibadah haji dan umrah adalah dambaan setiap Muslim. Jutaan umat Islam dari seluruh dunia berbondong-bondong menuju Tanah Suci setiap tahunnya. Namun, di balik kemuliaan ibadah ini, terdapat kompleksitas administratif yang wajib dipahami oleh setiap calon jemaah. Salah satu dokumen krusial yang seringkali diabaikan atau bahkan dimanipulasi adalah Dokumen Tasrih. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa dokumen tasrih sangat penting, serta risiko denda dan faktor bahaya lainnya jika jemaah tidak memahami pengurusannya, terutama akibat ulah oknum travel yang tidak bertanggung jawab.

Tasrih dalam Konteks Ibadah Haji bagi Warga Negara Indonesia


Dalam konteks ibadah haji bagi warga negara Indonesia, "tasrih" merujuk pada izin resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Arab Saudi kepada setiap jemaah haji untuk dapat melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci. Ini adalah dokumen krusial yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki izin resmi dan sah untuk berada di Makkah dan Madinah selama musim haji.

Mengapa Tasrih Itu Penting?

Rabu, 28 Mei 2025

2017 : Menjelajah Utara Jawa - Perjalanan Menuju Pantai Cemara Tuban


Pagi itu, udara Surabaya terasa begitu hidup, diwarnai semburat jingga matahari yang perlahan naik, menjanjikan hari yang cerah. Di sebuah titik kumpul yang telah disepakati, dekat gerbang kota, deru mesin-mesin Honda Verza mulai memenuhi atmosfer. Kami, rombongan touring yang berjumlah belasan motor, sudah tak sabar mengaspal. Ada saya dengan Verza kesayangan, Benu dengan semangat menggebu, Sehol yang selalu siap dengan kamera di leher, Agus Budi dengan senyum khasnya, Norman yang teliti mengecek setiap detail motor, Adi Bagus yang bersemangat memimpin barisan, Arwin yang tenang membonceng tas besar di belakang, dan masih banyak lagi wajah-wajah familiar dari komunitas Verza Surabaya yang antusias. Tujuan kami hari ini adalah sebuah destinasi yang tenang dan meneduhkan: Pantai Cemara Tuban.

2015 : Perjalanan Menjelajah Blitar Menuju Goa Umbul & Pantai pudak Blitar


Mentari pagi Surabaya, pada hari itu, terasa begitu menyengat meski belum terlalu tinggi. Namun, semangat kami membakar lebih terang. Saya dan Syahrumsyah Sehol sudah bersiap. Honda Verza saya sudah siap di halaman rumah, tangki penuh, dan tas ransel berisi perlengkapan seadanya terpasang kokoh di jok belakang. Syahrumsyah pun telah mengecek motornya. Tujuan kami hari ini adalah Kabupaten Blitar, sebuah daerah yang menyimpan banyak pesona tersembunyi, salah satunya adalah Goa Umbul Tuk yang melegenda.

Sebuah Kisah dari Taman Mundu: Simfoni Kehidupan di Jantung Surabaya

Di tengah denyut nadi Kota Surabaya yang tak pernah lelah, di antara deretan gedung-gedung tinggi dan gemuruh kendaraan, terhampar sebuah permata hijau yang bernama Taman Mundu. Bagi warga kota, terutama mereka yang tinggal di sekitarnya, taman ini bukan sekadar peta hijau di atas kertas, melainkan sebuah living canvas, tempat di mana melodi kehidupan dimainkan, kenangan diukir, dan harapan-harapan baru bersemi.

Zakat Maal


Zakat Maal (sering juga disebut zakat harta) adalah bagian tertentu dari harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang Muslim apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat maal merupakan salah satu dari lima rukun Islam, menunjukkan pentingnya berbagi kekayaan dengan mereka yang membutuhkan untuk membersihkan dan mensucikan harta.

Selasa, 27 Mei 2025

Koran telat

 Jam di dinding berdetak pelan, menunjukkan pukul 03.30 pagi. Dalam hening yang masih menyelimuti, aku perlahan membuka mata. Dunia belum terbangun, hanya remang-remang cahaya yang masuk dari sela tirai jendela.

Tubuhku berat oleh sisa mimpi, tapi tugas memanggil. Aku bangkit, melangkah ke kamar mandi. Air dingin menyentuh wajahku, membangkitkan segenap semangat yang hampir padam. Aku menarik napas panjang, mempersiapkan diri menembus pagi yang masih gelap.

Senin, 26 Mei 2025

Loper Koran di Hari Kartini: Di Antara Tawa, Telat, dan Tumpukan Lembar


Hari itu 21 April, Hari Kartini. Pagi masih gelap saat udara terasa lebih hangat dibanding hari-hari sebelumnya, dan kupikir mungkin karena semangat peringatan hari pahlawan perempuan Indonesia sedang menyusup ke atmosfer pagi itu.

14 Februari 2024 : Hujan Abu Vulkanik Bagian 2

 

Setelah mengisi tas koranku dengan bundel harian Jawa Pos, aku kembali menaiki sepeda pancalku. Rute yang kutempuh pagi itu seperti biasanya—berangkat dari agen di Bronggalan Sawah, lalu mulai memasuki gang-gang sempit di Ploso Timur, melintasi gang-gang padat rumah warga, di mana koran harus diantar hingga ke depan pintu atau digantungkan di pagar.

14 Februari 2024 : Hujan Abu Vulkanik Bagian 1


Hari itu, 14 Februari 2014, takkan pernah kulupakan. Bukan karena hari itu dikenal sebagai Hari Kasih Sayang, tapi karena langit Surabaya berubah kelabu. Gunung Kelud yang terletak di perbatasan Kediri dan Blitar meletus dahsyat malam sebelumnya, dan pagi itu, dampaknya terasa jelas hingga ke kotaku.

Suasana hari itu


Sudah waktunya berangkat. Aku menyalakan motor perlahan, membiarkan suaranya menderu halus di pagi yang masih gelap. Rute harianku masih sama: mulai dari Bronggalan, melewati Krampung, Kapasari, menyeberang ke Jagiran, lanjut ke Jagalan, dan berakhir di Peneleh, tepat di depan rumah bersejarah HOS Cokroaminoto. Tapi rasanya pagi ini sungguh berbeda. Kini aku mengendarai motor, bukan lagi sepeda ontel yang sudah menemaniku bertahun-tahun.

Dinas pertama pake sepeda montor hehehe


Isuk iku rasane kok yo ndang ndang tok. Angin isih dingin nylekit, langit isih peteng, tapi aku wes semangat jek. Motor baruku tak parkir rapi nang ngarepe pos agen, isih mengkilap, plastik jok e ae durung tak copot. Teman-teman loper mulai teko siji-siji, seko ekspresi e ketok nek durung nyadar nek iki motorku. Tapi pas aku nyapa, “Woy rek, ngombe kopi yo?” langsung rame kabeh. “Lhaaa... iki motormu? Wani ngene ngene, cah!”

Motor pertama dari hasil loper koran

 Jam menunjukkan pukul 03.45 pagi. Suara alarm dari ponsel bututku meraung seperti sirine peringatan, membangunkanku dari mimpi yang bahkan tak sempat utuh. Aku mengucek mata, menarik napas dalam-dalam, lalu menghela perlahan. "Ayo, hari baru dimulai," kataku dalam hati, mencoba memberi semangat pada tubuh yang masih ingin bergelung di hangatnya selimut tipis. Aku tahu, dalam beberapa menit, mobil boks dari agen akan tiba. Dan seperti biasa, aku harus bersiap menyambutnya, lalu mengoplos tiga bagian koran — halaman metropolis, olahraga, dan halaman utama Jawa Pos — menjadi satu.

Minggu, 25 Mei 2025

Perjalanan ke Rumah Nenek

 Kereta KA Dhoho akhirnya berhenti di perhentian terakhir: Stasiun Surabaya Kota, atau yang lebih dikenal orang sebagai Stasiun Semut. Langit sudah mulai jingga saat Elvan kecil melangkah turun dari kereta, menggenggam erat ransel kecilnya yang sudah mulai terasa berat di punggung.

Siang Hari, Sepeda Pancal, dan Jalan Bernama Jolotundo

Pagi-pagiku selalu dimulai lebih awal dari kebanyakan anak remaja lainnya. Saat banyak teman masih terlelap, aku sudah mengayuh sepeda, membawa puluhan eksemplar koran menuju rumah-rumah pelanggan yang tersebar di sudut-sudut kota. Itulah duniaku sebagai loper koran.

Namun cerita hidupku tidak berhenti di pagi hari. Ketika mentari mulai naik tinggi, tubuh yang lelah belum sempat istirahat penuh, aku kembali harus mengayuh sepeda. Bukan lagi untuk mengantar koran, tapi menuju tempat yang tak kalah penting: sekolah.

Nokia 2700 Classic : Hasil Keringat Seorang Loper Koran

Tiga bulan. Itulah waktu yang kujalani sebagai loper koran dan penagih langganan setiap pagi. Tiga bulan mengayuh sepeda pancal melewati jalan-jalan sempit, portal kampung, hujan, panas, dan kadang disertai keluhan pelanggan. Tapi tiga bulan itu pula yang akhirnya mengantarku pada satu pencapaian kecil namun sangat berarti dalam hidupku: membeli handphone pertamaku—Nokia 2700 Classic.

Promosi Rute, Tantangan Baru: Loper Koran dan Jalan Pulang yang Lebih Jauh


Setiap loper koran pasti mengingat momen ketika rute pengiriman mereka berubah. Ada yang senang karena rutenya lebih ringan, ada pula yang justru merasa beban bertambah. Aku sendiri termasuk yang mengalami keduanya sekaligus. Saat bos agen koran memberitahuku bahwa aku mendapat rute baru, aku cukup senang karrna rutenya jauh lebih dekat dengan rumahku di sebelah rsud soewandhie. Tapi kegembiraan itu tak bertahan lama, karena yang menanti adalah tantangan yang tak pernah kuduga.

Loper Koran, Murid SMK, dan Sebuah Sepeda Pancal

Pagi itu, langit masih gelap ketika aku memulai rutinitas sebagai seorang loper koran. Angin dini hari menyentuh kulit, membuat tubuh menggigil, namun aku sudah terbiasa. Sejak kelas 1 SMK, aku menjalani dua peran: sebagai murid dan sebagai pengantar berita. Bekerja sebelum fajar, belajar setelah matahari naik.

Lebih dari Sekadar Loper Koran: Amanah di Setiap Halaman


Menjadi loper koran bukan hanya soal mengantar berita pagi ke depan rumah pelanggan. Tugasku lebih dari itu. Aku tidak hanya mengayuh sepeda dari Bronggalan Sawah ke Ploso Timur, melintasi Gading Pantai hingga Pantai Mentari, membawa 65 eksemplar koran setiap hari. Aku juga menjadi perpanjangan tangan dari PT Jawa Pos untuk menagih biaya langganan koran bulanan.

Hujan, Ban Bocor, dan Tanggung Jawab Seorang Loper Koran

Subuh masih menyelimuti langit dengan gulita ketika aku bersiap seperti biasa. Udara dingin menyusup hingga ke tulang, tapi aku tak punya pilihan. Sebagai seorang loper koran, tanggung jawabku datang lebih dulu dibanding sinar matahari. Aku mengenakan jas hujan tipis dan memeriksa sepeda panjang andalanku yang sudah menempuh ribuan kilometer di jalan-jalan kota. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, 65 eksemplar Jawa Pos harus sampai ke rumah-rumah pelanggan di perumahan Ploso Timur, Lebak Arum, Gading Pantai, hingga Pantai Mentari.


Namun, pagi ini tak seperti biasa.

Pagi yang Terlambat: Kisah Seorang Loper Koran

Hari itu, seperti pagi-pagi lainnya, aku bangun pukul 03.15 WIB. Setelah mencuci muka dan mempersiapkan perlengkapan, aku segera menuju ke tempat agen koran yang berada tidak jauh dari rumahku di daerah Bronggalan Sawah, Surabaya. Aku adalah seorang loper koran, yang setiap hari mengantarkan surat kabar kepada pelanggan setia. Tugasku dimulai sebelum matahari terbit, ketika sebagian besar orang masih terlelap dalam tidur.

Biasanya, mobil boks dari Jawa Pos tiba di agen sekitar pukul 03.30 WIB. Aku dan beberapa loper lain akan segera menyambutnya, lalu membagi-bagi tumpukan koran sesuai rute masing-masing. Namun, pagi itu tidak seperti biasanya. Waktu sudah menunjukkan pukul 03.45 WIB, namun belum ada tanda-tanda suara mesin boks yang biasa membelah sunyi dini hari.

Aku mondar-mandir di depan agen, menahan kantuk yang mulai kembali menyerang. Rasa cemas perlahan merambat. Semakin lama aku menunggu, semakin sempit pula waktu yang kumiliki untuk mendistribusikan koran. Akhirnya, sekitar pukul 04.05 WIB, mobil boks itu baru datang. Sopirnya turun tergesa-gesa, meminta maaf karena ada masalah teknis di percetakan yang membuat pengiriman molor dari jadwal.

Aku buru-buru mengambil jatahku yakni 65 eksemplar koran yang harus kukirimkan pagi itu juga. Aku menumpuk koran itu di keranjang di sepeda pancalku yang selama ini setia menemaniku menembus jalanan kota. Tanpa buang waktu, aku mengayuh pedal menyusuri rute yang sudah menjadi hafalan dalam otakku.

Dari Bronggalan Sawah, aku mengayuh menuju Ploso Timur, menyusuri jalanan yang masih basah oleh embun. Udara pagi cukup dingin, namun pikiranku dipenuhi dengan rasa cemas: akankah aku terlambat lagi mengirim koran ke pelanggan?

Setelah Ploso Timur, aku lanjut ke daerah Lebak Arum. Di sana, beberapa pelanggan sudah menunggu di depan pagar. Wajah mereka menunjukkan ekspresi kecewa.

 "Mas, kok telat lagi, ya?" kata seorang ibu setengah berteriak sambil menatap jam tangannya.

 Aku hanya bisa tersenyum kaku sambil meminta maaf. Aku jelaskan soal keterlambatan mobil boks tadi, tapi aku tahu, bagaimanapun alasannya, pelanggan tetap ingin korannya datang tepat waktu.

Aku mengayuh lagi ke arah Gading Pantai, melewati perumahan TNI AL. Beberapa anjing jalanan menggonggong saat aku lewat. Di jalan yang agak sempit, aku harus berhati-hati agar koran tidak jatuh dari keranjang belakang. Terakhir, aku masuk ke area perumahan Pantai Mentari, titik akhir rute panjangku. Saat jam menunjukkan pukul 06.35 WIB, baru semua koran selesai aku antar.

Itu adalah salah satu pagi yang melelahkan sekaligus mengecewakan. Keterlambatan bukan sepenuhnya salahku, namun sebagai loper koran, aku yang menanggung langsung amarah pelanggan. Meski begitu, aku tetap menjalani pekerjaan ini dengan sepenuh hati. Setiap pagi, setiap hari, selama satu bulan. aku terus mengayuh sepeda panjangku, membagikan berita dari rumah ke rumah, berharap esok hari semuanya bisa kembali tepat waktu.

Kisahku sebagai loper koran


Tahun 2007, ketika sebagian besar teman seangkatanku di SMK PGRI 4 Surabaya sibuk memikirkan gaya rambut atau naksir kakak kelas, aku justru sibuk memikirkan rute pengantaran koran. Bukan karena aku anak yang terlalu serius, tapi karena setiap pagi sebelum matahari terbit, aku sudah mengayuh sepeda menuju sebuah agen koran di Bronggalan Sawah.

Mengapa saya memilih juventus menjadi klub idola


Menjadi Juventini sejak tahun 2004 adalah keputusan yang datang dari hati, bukan hasil dari tren atau dominasi klub. Tahun itu, saya masih duduk di bangku sekolah dasar, dan sepak bola Italia tengah berada dalam masa keemasan. Di tengah persaingan Serie A yang keras, Juventus tampil sebagai kekuatan yang nyaris tak tergoyahkan. Saya masih ingat dengan jelas—di bawah asuhan pelatih Marcello Lippi, Juventus memiliki skuad penuh bintang seperti Alessandro Del Piero, Gianluigi Buffon, Pavel NedvÄ›d, hingga David Trezeguet. Gaya bermain mereka elegan dan tegas, perpaduan antara taktik klasik Italia dan serangan mematikan. Ketika Lippi digantikan oleh Fabio Capello pada musim panas 2004, ekspektasi meningkat karena Capello dikenal sebagai pelatih bertangan besi yang haus gelar.