Senin, 26 Mei 2025

14 Februari 2024 : Hujan Abu Vulkanik Bagian 1


Hari itu, 14 Februari 2014, takkan pernah kulupakan. Bukan karena hari itu dikenal sebagai Hari Kasih Sayang, tapi karena langit Surabaya berubah kelabu. Gunung Kelud yang terletak di perbatasan Kediri dan Blitar meletus dahsyat malam sebelumnya, dan pagi itu, dampaknya terasa jelas hingga ke kotaku.

Pukul 03.15 WIB. Alarm ponselku berbunyi seperti biasa. Aku bangkit, meski terasa lebih berat dari biasanya. Udara pagi itu dingin bukan hanya karena waktu masih dini, tapi juga karena langit tampak aneh—gelap pekat dan suram. Cahaya bulan nyaris tak terlihat, dan suasana terasa begitu hening, seperti ada sesuatu yang tak biasa.

Kutinggalkan rumah dengan jaket tebal dan syal menutup hidung. Sepedaku, Ketika mulai dalam perjalanan, aku merasakan semacam butiran halus menyentuh wajahku. Abu. Tipis memang, tapi cukup untuk membuat jalanan seperti diselimuti debu kelabu. Lampu jalan masih menyala, tetapi cahaya yang dipantulkannya tampak redup karena partikel abu di udara.

Jalan menuju agen koran di Bronggalan Sawah seperti lorong hampa. Sepi, tenang, tapi bukan tenang yang nyaman—melainkan tenang yang membuat bulu kuduk sedikit berdiri. Sepanjang jalan, aku melihat daun-daun pohon dan atap rumah sudah diselimuti abu tipis. Aku sesekali menunduk, menarik napas pelan lewat kain yang menutupi hidung.

Setibanya di agen, beberapa teman loper sudah duduk di pelataran trotoar. Wajah mereka tertutup masker kain seadanya, mata tampak lesu, dan suara mereka serak—entah karena kantuk, entah karena debu.


“Wah, Van… isuk iki rodok aneh, ya,” ucap Dika sambil menyeduh kopi dari termos kecil. Uapnya mengepul, tapi tertutup kabut abu.

“Iyo. Mau pas metu rumah, bapakku nyuruh pakai masker segala. Katanya Kelud meletus semalam,” jawabku, meletakkan sepeda dan ikut duduk di dekat mereka.

Kami menatap langit. Biasanya menjelang subuh, cahaya lembut mulai muncul di ufuk timur. Tapi hari itu, semuanya abu-abu. Mobil-mobil yang lewat pun jarang sekali, dan kalaupun ada, kaca depannya penuh debu, harus dibersihkan pakai lap basah.

Sambil menunggu mobil box dari Jawa Pos datang, kami mengobrol seadanya. Tidak seceria biasanya. Kali ini tak ada cerita lucu tentang pelanggan atau candaan tentang lemparan koran yang meleset. Yang ada justru kekhawatiran—apakah korannya akan tetap dikirim? Apakah pelanggan akan keluar rumah untuk mengambil koran?

Sekitar pukul 04.10, suara mobil box akhirnya terdengar. Kami langsung bangkit, dan seperti biasa, mengambil jatah koran masing-masing. Tapi kali ini, kami melakukannya dengan lebih cepat dan hati-hati. Tumpukan koran harus segera dimasukkan ke dalam tas, sebelum abu makin menempel di permukaannya.

Setelah itu kami berpencar, masing-masing melanjutkan tugas. Aku mengayuh sepedaku perlahan, mencoba tetap tenang meski jalanan terasa asing. Setiap kali berhenti di depan rumah pelanggan, aku menyeka koran sebentar sebelum meletakkannya di teras. Pikiranku terus mengingatkan: jangan sampai mereka menerima koran yang penuh abu.

Pagi itu, aku tidak mendengar suara ayam berkokok, tidak juga kicauan burung. Yang terdengar hanya suara langkah sepeda di jalan aspal yang dilapisi debu halus. Tapi di balik sunyi dan abu, aku merasakan sesuatu yang kuat: keteguhan.


0 comments :

Posting Komentar