Hari itu 21 April, Hari Kartini. Pagi masih gelap saat udara terasa lebih hangat dibanding hari-hari sebelumnya, dan kupikir mungkin karena semangat peringatan hari pahlawan perempuan Indonesia sedang menyusup ke atmosfer pagi itu.
Tapi suasana mendadak berubah saat aku sampai di agen. Biasanya, suasana mulai hidup jelang pukul 04.00, dengan mobil box dari Jawa Pos sudah terdengar suaranya dari kejauhan. Tapi hari itu… sepi. Tak ada tanda-tanda koran datang. Bahkan suara mesin mobil box pun tak terdengar. Kami para loper, satu per satu mulai berdatangan, dan menyadari: korannya telat.
“Waduh, ojo ojo kartinian iki korane nganggo kebaya disetrika sek nang percetakan,” celetuk Dika, disambut tawa kami semua.
Yang bikin tambah rumit, hari itu edisi korannya lebih tebal dari biasanya. Banyak liputan khusus Hari Kartini, cerita-cerita tokoh perempuan inspiratif, dan sisipan iklan penuh warna. Tapi belum datang juga. Pukul 04.45, langit sudah mulai terang, dan kami belum pegang selembar pun koran. Biasanya pada jam segini kami sudah sepedaan, menyusuri rute masing-masing.
Para loper dengan berbagai karakter mulai berdatangan. Ada yang memang selalu datang tepat waktu, seperti Romi, yang hobi ngopi dulu sebelum angkut koran. Ada juga Jalu, si tukang telat yang baru muncul sambil garuk-garuk kepala, padahal langit sudah mulai biru.
“Heh, Le… awake dhewe ngenteni kowe sek teko ngko baru korane muncul!” goda salah satu loper yang dari tadi mondar-mandir di depan agen.
“Yo wis, berarti aku iki pembawa berkah,” jawab Jalu santai.
Akhirnya, suara yang kami tunggu pun datang. Deru mobil box Jawa Pos terdengar dari ujung gang. Kami bersorak pelan, walau tahu perjuangan belum selesai. Ketika pintu box dibuka, yang terlihat bukan hanya bundel koran… tapi tumpukan lembaran terpisah-pisah.
“Kampret… ini kudu nggabung manual?!” seruku sambil mengeluh setengah tertawa.
Betul saja. Karena saking banyaknya halaman, cetakan koran dibagi dalam dua bundel: inti berita dan lampiran Hari Kartini. Kami harus menyatukan keduanya satu per satu sebelum bisa dibawa. Suasana mendadak jadi seperti pabrik mini—semua loper sibuk menyatukan halaman, membungkus, dan memasukkan ke tas. Beberapa loper yang biasanya bawaan santai, kini keringatan. Bahkan ada yang akhirnya membuka jaket karena saking gerahnya kerja pagi itu.
Di tengah kekacauan itu, Mas Siswanto, bos kami yang terkenal kalem tapi perhatian, datang membawa kantong kresek besar. Wajahnya senyum-senyum, lalu meletakkan kantong itu di atas bangku panjang.
“Opo kui, Mas?” tanya salah satu loper.
“Ngene ae, aku tuku camilan buat semangat. Ono pohong goreng, ote-ote anget, karo roti goreng isi meses. Sing laper ojo jaim!” ucap Mas Sis sambil tertawa.
Langsung saja tangan-tangan lapar meraih camilan. Tapi tentu, di antara kami ada juga yang sok jaga image. Duduk di sudut, pura-pura sibuk menyusun koran padahal perut sudah berontak.
“Eh, Seno… ra usah jaim. Mbok ya ora usah sok diet nang pagi-pagi begini,” sindir Bima sambil nyodorin ote-ote.
“Aku nunggu yang ada cabe rawitnya,” jawab Seno pura-pura santai, padahal langsung ngunyah setelah dikasih.
Suasana benar-benar cair. Di sela tumpukan koran yang belum tersusun, ada tawa, guyonan khas Suroboyoan, dan semangat loper-loper remaja yang meski dibayar tak seberapa, tetap punya harga diri dan rasa tanggung jawab tinggi.
Setelah semua koran siap—sekitar pukul 05.15, kami pun berpencar. Jalanan sudah mulai ramai, langit mulai cerah keemasan. Tapi semangat di dada kami lebih terang dari mentari pagi. Karena walau koran telat, tumpukan kian tebal, dan tenaga makin terkuras… kami tetap tersenyum. Dan itulah yang membuat kami istimewa.
Kami adalah loper koran. Dan di Hari Kartini, kami juga merasa menjadi bagian dari perjuangan.
0 comments :
Posting Komentar