![]() |
Menjadi Juventini sejak tahun 2004 adalah keputusan yang datang dari hati, bukan hasil dari tren atau dominasi klub. Tahun itu, saya masih duduk di bangku sekolah dasar, dan sepak bola Italia tengah berada dalam masa keemasan. Di tengah persaingan Serie A yang keras, Juventus tampil sebagai kekuatan yang nyaris tak tergoyahkan. Saya masih ingat dengan jelas—di bawah asuhan pelatih Marcello Lippi, Juventus memiliki skuad penuh bintang seperti Alessandro Del Piero, Gianluigi Buffon, Pavel Nedvěd, hingga David Trezeguet. Gaya bermain mereka elegan dan tegas, perpaduan antara taktik klasik Italia dan serangan mematikan. Ketika Lippi digantikan oleh Fabio Capello pada musim panas 2004, ekspektasi meningkat karena Capello dikenal sebagai pelatih bertangan besi yang haus gelar.
Musim 2004/2005 menjadi awal dari masa kejayaan baru. Di bawah Capello, Juventus bermain sangat pragmatis namun efektif. Mereka memenangkan Scudetto dengan keunggulan mutlak, mengalahkan rival seperti Milan dan Inter dengan disiplin dan efisiensi. Thuram dan Cannavaro menjadi tembok kokoh di lini belakang, Buffon tak tergantikan di bawah mistar, sementara Emerson serta Vieira kemudian membawa otoritas di lini tengah. Musim berikutnya, 2005/2006, Juventus kembali merajai Serie A, sekali lagi keluar sebagai juara. Sebagai Juventini, dua musim itu adalah momen penuh kebanggaan. Kami bukan hanya menang—kami menguasai liga. Rasa bangga mengenakan jersey hitam-putih begitu kuat, seolah menjadi bagian dari sejarah besar klub.
Namun, di balik kejayaan itu, awan gelap mulai berkumpul. Saat kami merayakan kemenangan Scudetto 2006, kabar mengejutkan mulai beredar. Media Italia mulai membongkar apa yang kemudian dikenal sebagai skandal Calciopoli. Luciano Moggi, direktur olahraga Juventus saat itu, dituduh sebagai aktor utama dalam skema pengaturan wasit yang melibatkan sejumlah klub besar lainnya, termasuk Milan, Fiorentina, dan Lazio. Awalnya, sebagai Juventini, saya menolak percaya. Juventus yang saya kenal adalah klub penuh integritas, klub keluarga Agnelli yang dihormati, klub yang menjadi tulang punggung tim nasional Italia.
Namun kenyataan tak bisa dihindari. Dalam waktu singkat, investigasi berkembang pesat, dan bukti-bukti yang dianggap cukup membuat Federasi Sepak Bola Italia menjatuhkan sanksi berat. Juventus dicabut dua gelar Scudetto—2005 dan 2006—dan yang lebih menyakitkan, mereka dihukum degradasi ke Serie B untuk musim 2006/2007. Ini adalah kejadian luar biasa dalam sejarah sepak bola Italia: klub tersukses Italia harus bermain di divisi kedua karena skandal. Saya masih ingat bagaimana hati ini hancur saat melihat kabar resmi: Juventus benar-benar akan bermain di Serie B.
Yang lebih menyayat hati adalah perpisahan dengan beberapa pemain kunci. Fabio Cannavaro dan Emerson pindah ke Real Madrid. Lilian Thuram dan Gianluca Zambrotta bergabung dengan Barcelona. Namun, di tengah kejatuhan itu, muncul cahaya kecil yang membuat saya dan jutaan Juventini lainnya tetap setia. Del Piero, Buffon, Trezeguet, dan Nedvěd—mereka bertahan. Mereka memutuskan untuk tetap bersama klub, berjuang dari titik nol. Itu bukan keputusan profesional semata; itu adalah keputusan emosional, bukti cinta mereka pada klub. Dan di sanalah saya semakin yakin: menjadi Juventini bukan hanya soal kemenangan, tetapi soal kesetiaan.
Musim di Serie B menjadi pengalaman yang sangat emosional. Juventus tampil dengan semangat juang luar biasa, seolah ingin membuktikan bahwa mereka adalah klub besar yang hanya terjatuh karena keadaan. Di bawah pelatih Didier Deschamps, mereka menjalani musim yang penuh tekanan, apalagi dengan pengurangan poin sebagai bagian dari hukuman. Namun, tim tetap solid. Del Piero menjadi top skor Serie B, membawa Juventus kembali ke Serie A hanya dalam satu musim. Saya masih ingat bagaimana saya meneteskan air mata saat promosi itu resmi diumumkan. Rasanya seperti kembali ke rumah setelah diusir tanpa alasan.
Skandal Calciopoli memang menyisakan luka yang dalam. Banyak Juventini merasa klub dijadikan kambing hitam. Fakta bahwa klub-klub lain yang juga terlibat mendapat hukuman lebih ringan memperkuat keyakinan itu. Namun, satu hal yang tak pernah berubah adalah cinta kami pada klub. Kami tetap menonton setiap pertandingan, tetap membeli jersey baru, tetap bangga dengan sejarah klub ini. Kami tahu bahwa Juventus akan kembali lebih kuat, karena karakter sejati klub ini dibentuk dari perjuangan, bukan hanya dari trofi.
Menjadi Juventini sejak 2004 adalah perjalanan emosional—dari puncak kejayaan hingga kedalaman kehancuran. Tetapi justru dalam keterpurukan itu saya belajar apa arti sebenarnya menjadi bagian dari klub ini. Juventus bukan hanya soal menang atau kalah. Juventus adalah tentang bangkit saat dijatuhkan, tentang setia saat banyak yang pergi, dan tentang keyakinan bahwa *fino alla fine*, kami akan terus berdiri. Karena cinta sejati pada klub bukan hanya diuji saat di atas, tetapi juga saat harus berjalan dalam gelap. Dan dari gelap itulah, Juventus kembali bersinar.
0 comments :
Posting Komentar