Mentari pagi Surabaya, pada hari itu, terasa begitu menyengat meski belum terlalu tinggi. Namun, semangat kami membakar lebih terang. Saya dan Syahrumsyah Sehol sudah bersiap. Honda Verza saya sudah siap di halaman rumah, tangki penuh, dan tas ransel berisi perlengkapan seadanya terpasang kokoh di jok belakang. Syahrumsyah pun telah mengecek motornya. Tujuan kami hari ini adalah Kabupaten Blitar, sebuah daerah yang menyimpan banyak pesona tersembunyi, salah satunya adalah Goa Umbul Tuk yang melegenda.
Jarum jam menunjukkan pukul 07.00 WIB ketika kami berdua memutar kunci kontak motor kami. Deru mesin Verza dan motor Syahrumsyah yang familiar menyapa. Jalanan Surabaya di pagi hari masih relatif lengang, memungkinkan kami melaju dengan mulus menuju gerbang tol. Setelah melewati beberapa ruas tol yang menghubungkan Surabaya dengan kota-kota di selatan, pemandangan mulai berganti. Dari beton-beton tinggi, kami mulai disambut hamparan sawah hijau membentang dan pegunungan yang samar-samar terlihat di kejauhan. Udara pun terasa lebih segar, membawa aroma tanah basah dan dedaunan.
Perjalanan berdua ini bukan hanya tentang mencapai tujuan, tetapi juga tentang menikmati setiap kilometer yang dilalui. Kami sempat berhenti sejenak di sebuah warung kopi sederhana di pinggir jalan, menikmati secangkir kopi hitam dan gorengan hangat sambil mengamati kehidupan pedesaan yang damai. Pikiran kami melayang pada tujuan singgah pertama: rumah sahabat lama kami, Agus Budi Santoso, di Blitar.
Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga hingga empat jam, tibalah kami di Blitar. Memasuki area kota Blitar yang terasa lebih tenang dari Surabaya, kami mengikuti petunjuk GPS menuju kediaman Agus. Begitu tiba di depan rumahnya yang asri, senyum lebar Agus menyambut kami berdua. "Wah, akhire sampe yoo!" serunya setelah sekian lama tidak bertemu.
Agus mempersilakan kami masuk, dan tak lama kemudian, secangkir teh hangat dan hidangan ringan khas Blitar sudah tersaji di meja. Kami bertiga berbincang santai, berbagi cerita dan tawa. Setelah beristirahat dan mengisi perut, saya menyampaikan tujuan utama kedatangan kami: Goa Umbul Tuk. "oke ayo gass mas, gak usah nggawe helm wes," katanya bersemangat.
petualangan pun berlanjut. Kali ini, Verza saya dan motor Syahrumsyah diikuti oleh motor Agus. Dari rumahnya, kami mulai memasuki area pedesaan yang semakin kental nuansanya. Udara semakin bersih, dan pohon-pohon rindang di tepi jalan seperti membentuk kanopi alami yang menyejukkan.
Kami bertiga melaju pelan, menikmati setiap momen. "Nah, ini kita sudah masuk Desa Lodoyo," ujar Agus sambil menunjuk ke arah papan nama desa yang baru saja kami lewati. Suasana di Desa Lodaya sungguh khas pedesaan Jawa. Rumah-rumah penduduk yang sebagian besar berdinding kayu atau bata ekspos tampak sederhana namun terawat. Anak-anak kecil bermain di halaman, sesekali melambaikan tangan saat kami lewat. Suara ayam berkokok, desir angin menerbangkan dedaunan, dan aroma masakan rumahan tercium samar-samar, menciptakan suasana yang begitu damai dan otentik. Para petani terlihat sibuk di sawah, memanen padi atau menggarap tanah, pemandangan yang jarang kami temui di kota besar.
Setelah melintasi jalanan beraspal yang sedikit menanjak dan berliku di Desa Lodaya, kami pun memasuki Desa Ngeni. Agus menjelaskan bahwa Desa Ngeni ini sudah lebih dekat dengan area perbukitan dan goa. Topografi jalanan mulai berubah, menjadi lebih terjal dan sempit di beberapa titik. Jalanan desa ini didominasi oleh perkebunan cengkeh dan kopi yang rimbun. Udara terasa lebih dingin dan sejuk, aroma tanah basah dan dedaunan hutan mulai mendominasi. Di beberapa tikungan, kami harus sedikit melambatkan laju motor karena jalannya yang berbatu dan tidak rata, namun hal itu justru menambah sensasi petualangan. Sungai kecil dengan air jernih mengalir di sisi jalan, dan sesekali terlihat warga yang sedang mandi atau mencuci.
"Hati-hati di sini, jalannya agak licin kalau hujan," Agus memperingatkan. Kami bertiga terus menembus hijaunya pepohonan, melintasi jembatan kayu sederhana, dan menyusuri jalan setapak yang kadang hanya cukup untuk satu motor. Beberapa kali kami bertemu penduduk lokal yang ramah, mereka melambaikan tangan atau sekadar tersenyum.
Akhirnya, setelah menempuh perjalanan menantang namun indah dari Desa Ngeni, kami tiba di sebuah area parkir sederhana. "nah iki akhire nyampe!" seru Agus. Kami segera mematikan mesin motor dan turun, merasakan sensasi pegal di kaki namun diganti dengan rasa penasaran yang meluap.
Di depan kami terhampar mulut goa yang tersembunyi di balik rimbunnya semak belukar dan bebatuan besar. Suasana di sekitar goa terasa sejuk dan damai, jauh dari keramaian. Suara gemericik air terdengar samar dari dalam, mengundang untuk dijelajahi. Saya dan Syahrumsyah menatap Agus, senyum terima kasih tak terhingga terlukis di wajah kami. Tanpa panduan sahabat kami ini, mungkin kami tidak akan pernah menemukan permata tersembunyi ini.
Setelah puas menjelajahi keunikan dan kesejukan Goa Umbul Tuk, kami bertiga – saya, Sehol, dan mas Agus – memutuskan untuk tidak menyia-nyiakan waktu. Masih ada satu lagi permata tersembunyi Blitar yang ingin kami kunjungi: Pantai Pudak.
"yo'opo lanjut manta ta?" tanya Agus dengan senyum lebar setelah kami selesai mengambil beberapa foto di mulut goa.
"gass!" jawab saya dan Sehol serentak, semangat kami masih membara.
Kami kembali ke motor masing-masing. Begitu mesin Verza dan motor Sehol hidup kembali, kami mulai meninggalkan area Goa Umbul Tuk yang tenang. Kali ini, Agus memimpin jalan melalui jalur yang terasa lebih sunyi dan jarang dilewati. Pemandangan hutan pinus dan perkebunan cengkeh masih mendominasi, namun sesekali kami melewati hamparan kebun jagung atau singkong milik penduduk.
"Dari sini ke Pantai Pudak, dalanne durung sepiro apik," Agus memperingatkan melalui helmnya. "sek ajur tapi sek aman mas."
Prediksi Agus tak meleset. Tak lama setelah meninggalkan jalanan yang sudah sedikit beraspal, kami mulai merasakan getaran yang berbeda di setang motor. Jalanan berubah drastis menjadi makadam – hamparan batu-batu kerikil dan pecahan batu yang padat namun tidak rata, belum tersentuh aspal. Debu tipis mulai mengepul setiap kali roda motor kami melintas, terutama di musim kemarau.
Sehol yang biasanya lebih berani dalam bermanuver, kini terlihat lebih berhati-hati, menyeimbangkan motornya dengan cermat. Saya pun harus mengurangi kecepatan, fokus pada setiap lintasan roda agar tidak tergelincir atau terperosok ke lubang-lubang kecil. Sesekali, batu kerikil terlontar dari ban motor Agus di depan, mengharuskan kami sedikit menjaga jarak.
Meski demikian, kesulitan jalur ini justru menambah adrenalin dan sensasi petualangan. Kami bisa merasakan setiap jengkal medan yang dilalui, seolah menyatu dengan alam. Pepohonan di kiri kanan jalan semakin rimbun dan rapat, membentuk terowongan hijau yang menyejukkan. Udara terasa lebih segar dan bersih, membawa aroma laut yang mulai tercium samar-samar, menjadi petunjuk bahwa kami semakin dekat dengan pantai.
Agus yang sudah sangat familiar dengan rute ini, sesekali menengok ke belakang, memastikan kami berdua masih mengikutinya. perjalanan di atas makadam itu terasa panjang, namun tidak membosankan. Tawa kecil atau celetukan dari Sehol yang berhasil melewati rintangan batu besar sering terdengar. Kami berdua terkadang berhenti sejenak untuk mengambil foto pemandangan perbukitan yang hijau membentang luas, atau sekadar meregangkan otot yang sedikit kaku karena harus menahan getaran.
Setelah sekitar tiga puluh menit atau lebih berkutat dengan jalur makadam yang menantang, tiba-tiba, sebuah celah di antara pepohonan rimbun menyingkap pemandangan yang menakjubkan. Kilauan biru laut yang luas langsung menyapa mata kami. Garis cakrawala yang tak terbatas terhampar di depan, dihiasi awan putih yang berarak pelan.
"lha kuwi, Pantai Pudak!" seru Agus, menunjuk ke bawah.
Kami bertiga memacu motor melewati turunan terakhir yang masih berbatu, hingga akhirnya tiba di area parkir sederhana yang masih alami, dikelilingi oleh pepohonan kelapa. Suara debur ombak yang memecah pantai langsung memenuhi pendengaran, memanggil kami untuk mendekat.
Pantai Pudak benar-benar sebuah surga tersembunyi. Pasirnya putih kecoklatan, bersih, dengan garis pantai yang masih alami dan belum banyak tersentuh pembangunan. Batu-batu karang besar tersebar di beberapa titik, menjadi tempat ombak pecah dan menghasilkan buih putih yang indah. Air lautnya terlihat jernih, memantulkan warna biru kehijauan yang memukau. Hanya ada beberapa nelayan lokal yang terlihat sedang memperbaiki jaring mereka, menambah kesan otentik dan damai pada pantai ini.
Kami segera memarkir motor, melepas helm, dan bergegas menuju bibir pantai. Angin laut yang lembut menerpa wajah, menghilangkan sisa-sisa debu perjalanan. Rasa lelah karena menempuh jalur makadam yang menguji mental dan fisik seketika lenyap, digantikan oleh kekaguman pada keindahan alam yang luar biasa ini.
"suwangar mas! Jalannya memang bikin pegal, tapi semuanya terbayar lunas di sini!" seru Sehol sambil meregangkan tubuh.
Agus tersenyum puas. "kandani og? Blitar masih menyimpan banyak kejutan."
Kami bertiga berdiri sejenak, mengagumi panorama di depan mata. Perjalanan panjang dan jalur makadam yang menantang tadi kini terasa seperti bagian tak terpisahkan dari petualangan indah ini. Pantai Pudak bukan hanya sebuah tempat tujuan, melainkan hadiah atas setiap usaha dan keberanian untuk menjelajahi keindahan yang belum banyak terjamah.
0 comments :
Posting Komentar