Kamis, 29 Mei 2025

Bagian 4: Melintasi Imogiri, Menuju Hutan yang Sunyi


Pagi hari di Prawirotaman datang dengan angin lembut dan suara burung yang bersahutan dari pepohonan di sekitar penginapan. Udara masih segar, belum bercampur debu dan panas jalanan kota. Setelah tidur yang nyenyak dan mandi air hangat, kami berdua siap untuk memulai hari baru dalam petualangan kecil ini. Tujuan pagi ini adalah tempat yang sejak lama kami incar: Hutan Pinus Mangunan, yang berada sekitar 40 kilometer di selatan kota.
Kami menyewa mobil harian dari layanan lokal. Pengemudinya ramah dan sigap, namun kami memilih untuk mengendarainya sendiri agar lebih bebas menentukan waktu dan berhenti kapan saja kami mau. Setelah sarapan ringan dan mengecek rute melalui peta digital, kami pun berangkat.

Perjalanan keluar dari kota Jogja cukup lancar. Jalanan mulai sepi begitu kami meninggalkan pusat kota dan memasuki kawasan imogiri. Suasana berubah drastis rumahberganti dengan hamparan sawah, rumah-rumah tradisional, dan jalan berkelok yang menyempit namun memikat.

Saat tiba di pertigaan Pakulan Imogiri dan Imogiri Barat, sesuatu menarik perhatian kami. Di sana, berdiri gagah sebuah patung kuda Sultan Agung Imogiri, salah satu ikon sejarah dari raja besar Mataram Islam. Patung itu tampak berwibawa, berdiri di tengah taman kecil yang bersih dan terawat, dengan latar perbukitan yang hijau.

"Aduh, keren banget patungnya. Sayang kita gak sempat berhenti ya," ujar istriku sambil melongok dari jendela.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Dalam hati berjanji, lain kali kita harus berhenti dan mengabadikannya.

Kami lanjutkan perjalanan menyusuri jalan menanjak ke arah Bukit Bego, sebuah titik unik dengan nama yang selalu berhasil membuat wisatawan tersenyum geli. Meski jalannya cukup curam dan berliku, pemandangannya luar biasa. Di kiri kanan terbentang kebun, ladang, dan hutan kecil yang tampak masih perawan. Udara mulai terasa lebih sejuk, embun pagi masih menggantung di dedaunan meski matahari sudah mulai naik.

Tak lama kemudian, kami melihat papan kayu sederhana bertuliskan:

"Selamat Datang di Hutan Pinus Mangunan"

Kami pun sampai.

Kami memarkir mobil dan turun dengan langkah ringan. Aroma kayu pinus langsung menyambut—wangi resin dan tanah lembap, memicu perasaan tenang yang tidak bisa diciptakan kota mana pun. Barisan pohon-pohon pinus menjulang tinggi, berdiri rapi seolah sedang menyambut kedatangan tamu.

Cahaya matahari menyelinap dari celah dahan dan daun, menciptakan pola cahaya yang menari di tanah. Beberapa ayunan kayu tergantung santai di antara pohon-pohon, dan pengunjung lainnya tampak menikmati waktu dengan duduk-duduk, berswafoto, atau sekadar menyandarkan punggung sambil memejamkan mata.

Kami berjalan menyusuri jalan setapak, tangan saling menggenggam, sesekali berhenti untuk mengambil foto atau hanya sekadar mendengarkan keheningan yang tidak benar-benar hening—diisi oleh suara alam yang menyembuhkan.

Di tempat setenang dan sesejuk ini, waktu seolah melambat.

Begitu sampai di area Hutan Pinus Mangunan, kami langsung mencari tempat parkir yang agak teduh. Lahan parkirnya cukup luas, dipenuhi kendaraan pribadi dan beberapa motor milik para pengunjung yang sudah lebih dulu tiba. Udara terasa semakin segar, dan angin hutan membelai wajah kami dengan lembut. Tak ada suara kendaraan, hanya gemerisik daun dan kicauan burung yang menjadi musik latar alami.


Saat kami turun dari mobil dan menata barang bawaan, sekelompok wisatawan lokal dari Jawa Tengah—barangkali dari Klaten atau Solo—menyapa ramah. Mereka duduk santai di kursi kayu, membawa bekal dari rumah, lengkap dengan termos teh manis.

“Lho, dari mana, Mas Mbak?” tanya salah satu bapak paruh baya sambil tersenyum.

“Dari Surabaya, Pak,” jawabku.

“Oalah... kirain wong Solo, logatnya halus!” sahut ibu-ibu di sampingnya, diikuti tawa kecil dari rombongannya. Kami ikut tertawa.

Percakapan ringan itu jadi pemecah keheningan yang hangat. Di tempat seperti ini, semua orang terasa seperti keluarga. Tak ada kesan asing, hanya keramahan yang mengalir begitu saja—khas sekali dengan watak orang Jawa.

Kami berpamitan dan mulai menyusuri hutan. Jalan setapak dari tanah dan bebatuan kecil membelah barisan pinus yang menjulang tinggi. Cahaya matahari yang jatuh dari sela-sela dedaunan menciptakan efek dramatis di lantai hutan—kontras terang dan gelap yang begitu memukau.

Istriku langsung mengeluarkan kameranya. Ia memang punya bakat dan kecintaan mendalam pada fotografi. Ada sesuatu di matanya yang berubah saat ia mulai membidik dengan lensa—fokus, penuh gairah, dan sangat hidup. Ia berlari kecil ke arah sebuah pohon dengan akar yang melingkar cantik, lalu berpindah ke sisi lain tempat cahaya membentuk garis sempurna di batang-batang pohon.

“Tempat ini keren banget…” gumamnya, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri.

Kami terus berjalan, melewati jembatan kayu kecil dan sebuah gardu pandang dari bambu. Dari sini, panorama hamparan bukit dan lembah hijau terbentang luas di depan mata. Sejauh mata memandang, hanya ada pepohonan yang tampak seperti lautan hijau, mengalir lembut ke bawah menuju lembah. Kabut tipis masih menggantung di beberapa titik, seperti lukisan alam yang belum selesai digoreskan.

Di titik itu, kami berhenti. Istriku segera sibuk dengan kameranya, mengganti lensa, mengatur angle, mengejar cahaya. Aku hanya berdiri di samping, memandangi alam dan dirinya—dua hal yang tak pernah bosan aku nikmati.

“Lihat itu,” katanya sambil menunjuk ke ujung bukit, “bayangno nek kita datang pas matahari terbit. Pasti luar biasa.”

Aku mengangguk. Tapi bagiku, pagi ini pun sudah cukup luar biasa.

Kami duduk di salah satu bangku kayu, dikelilingi hening dan kesejukan. Tidak ada suara kendaraan, tidak ada notifikasi ponsel, hanya detak alam yang perlahan menenangkan hati.

Jogja, sekali lagi, berhasil menunjukkan kenapa ia tak pernah kehilangan pesonanya.

0 comments :

Posting Komentar