Kamis, 29 Mei 2025

Bagian 5 : Dari Pinus ke Ombak Pantai

 

Setelah puas menyerap kesejukan dan keindahan Hutan Pinus Mangunan, serta memori-memori visual yang berhasil ditangkap oleh kamera istri saya, kami kembali ke mobil, membiarkan AC mendinginkan tubuh yang mulai hangat oleh matahari jelang siang. Tapi perjalanan kami belum berakhir—justru petualangan berikutnya baru dimulai.
Tujuan kami selanjutnya adalah Pantai Siung, sebuah pantai cantik di pesisir selatan Gunungkidul yang dikenal dengan tebing karangnya dan deru ombak Samudera Hindia yang gagah.

Kami menyusuri jalan menuju selatan dan timur, meninggalkan kawasan Mangunan yang perlahan menghilang di balik barisan pinus. Jalanan mulai bergelombang dan menanjak, lalu menurun tajam, lalu berkelok lagi. Aspalnya mulus—lajur sempit namun terasa aman, seolah memanggil untuk terus melaju sambil memandangi jendela.

Sepanjang jalan, kami membelah perbukitan dan hutan tropis. Di beberapa titik, hutan menyibak menjadi perkampungan kecil. Rumah-rumah penduduk berjajar di pinggir jalan, berdinding kayu, beratap seng atau genteng tua yang mulai pudar warnanya. Pekarangan mereka luas, dengan pohon pisang, jambu, dan kadang ternak yang lalu lalang. Anak-anak kecil bermain di bawah pohon, beberapa melambai ketika mobil kami melintas.
Istriku sempat memotret satu rumah yang begitu indah dalam kesederhanaannya—dinding kayu tua, jendela hijau lumut, dan sepeda tua bersandar di dinding. “Ini, nih... yang susah ditemukan di kota,” katanya pelan, matanya berbinar.

Perjalanan memakan waktu hampir dua jam, namun tidak terasa membosankan. Pemandangan berganti antara lembah hijau, ladang kering, dan bukit karst, lalu menjelang mendekati pantai, aroma laut mulai tercium samar di sela-sela angin.
Dan akhirnya—kami sampai.

Begitu kami menutup pintu mobil, suara ombak Pantai Siung langsung menyambut dengan keras, bergemuruh memecah karang. Seolah sejak tadi dia menunggu kami.
Kami menuruni sedikit anak tangga batu menuju pasir. Pantai Siung terbentang di depan mata: hamparan pasir putih yang tenang diapit dua tebing raksasa, seolah membentuk teluk rahasia yang dijaga alam. Beberapa wisatawan terlihat duduk di atas batu besar, dan sebagian lagi bermain air di tepian.

Kami duduk di atas tikar yang disewa dari warung kecil pinggir pantai, memesan kelapa muda dan mie rebus. Dari situ, kami bisa melihat langit sore mulai berubah warna—biru muda berangsur menjadi oranye keemasan.

Istriku tak bisa berhenti memotret. Ombak yang menghantam tebing, jejak kaki di pasir, langit yang perlahan menjadi kanvas senja. Tapi sesekali ia meletakkan kameranya, hanya untuk diam sejenak, menikmati bunyi ombak dan angin asin yang membelai wajah.
Kami tak banyak bicara. Di tempat seperti ini, diam menjadi bentuk komunikasi yang paling jujur.

Matahari pun perlahan tenggelam, menyisakan langit ungu dan aroma laut yang makin kuat. Lampu-lampu mulai dinyalakan dari warung-warung kecil di tepi pantai. Saat malam menjelang, kami tahu—perjalanan hari itu akan menjadi salah satu bab terindah dalam kisah kami.


0 comments :

Posting Komentar