Minggu, 25 Mei 2025

Kisahku sebagai loper koran


Tahun 2007, ketika sebagian besar teman seangkatanku di SMK PGRI 4 Surabaya sibuk memikirkan gaya rambut atau naksir kakak kelas, aku justru sibuk memikirkan rute pengantaran koran. Bukan karena aku anak yang terlalu serius, tapi karena setiap pagi sebelum matahari terbit, aku sudah mengayuh sepeda menuju sebuah agen koran di Bronggalan Sawah.

Pekerjaan ini aku ambil bukan untuk bergaya sok dewasa. Aku hanya ingin membantu orang tua, dan kalau ada sisa dari hasil mengantar koran, bisa kubelikan pulsa atau makan bakso sepulang sekolah. Lagipula, jadi loper koran memberiku ruang melihat kota ini dari sudut yang berbeda: tenang, sepi, dan penuh perjuangan.


Setiap hari, pukul 04.30 pagi, aku sudah bersiap dengan jaket tipis dan tas selempang yang sudah mulai pudar warnanya. Di agen koran, tumpukan Jawa Pos dan beberapa koran lokal lainnya menantiku. Aku membungkusnya satu per satu dengan plastik, agar tetap kering saat terkena embun atau, yang lebih menantang, hujan pagi.


Rute andalanku adalah daerah Lebak Arum Timur. Rumah-rumah di sana sudah akrab denganku. Ada pelanggan yang suka menyapa dari teras dengan senyum hangat, ada juga yang tak pernah muncul tapi selalu memastikan koran ditaruh di tempat yang sama setiap hari. Semuanya terasa biasa—hingga alam memutuskan memberi kejutan.

Suatu pagi di musim hujan, langit mendung sejak malam. Ketika aku mengayuh sepeda, gerimis mulai turun. Aku tetap melanjutkan perjalanan, dengan jas hujan tipis yang nyaris tidak ada fungsinya. Koran-koran kubungkus dua lapis, dan aku mengayuh perlahan agar tidak tergelincir di jalanan licin. Tapi nasib berkata lain. Di tikungan kecil, ban sepeda tergelincir dan aku jatuh. Lututku lecet, tangan kotor, tapi aku tetap bangun. Koran-koran harus tetap sampai sebelum pukul tujuh.

Hari itu, aku pulang dengan pakaian basah kuyup dan tubuh menggigil, tapi dalam hati ada rasa bangga kecil. Aku belajar bahwa tanggung jawab tidak mengenal cuaca.

Namun, kejadian paling mendebarkan bukanlah hujan. Suatu hari, saat hendak mengantar koran ke sebuah rumah di pinggir gang, seekor anjing penjaga dari rumah sebelah tiba-tiba muncul. Pagar rupanya lupa dikunci, dan si anjing yang besar dan berbulu cokelat itu melompat keluar dengan gonggongan keras. Aku panik, melempar koran ke arah pagar rumah pelanggan, lalu kabur sambil menyeret sepeda. Untungnya, anjing itu hanya menggonggong dan tidak mengejar terlalu jauh. Tapi sejak hari itu, aku selalu waspada setiap melewati gang itu. Kadang aku tersenyum sendiri mengingat bagaimana koran Jawa Pos hari itu mendarat sempurna di atas pot bunga.

Namun, tak semua kisah adalah tentang luka dan rasa takut. Di tahun 2009, menjelang Hari Raya Idulfitri, seorang pelanggan tetap di Lebak Arum Timur—seorang pria tua berambut putih dan selalu ramah—memanggilku usai aku meletakkan koran di meja terasnya. Ia menyerahkan sebuah amplop putih kecil.

“Ini THR buat kamu,” katanya. “Kamu rajin. Gak gampang bangun pagi dan keliling setiap hari.”

Aku menunduk dan mengucapkan terima kasih berulang kali. Isinya mungkin tak seberapa bagi sebagian orang, tapi bagiku itu adalah bentuk penghargaan yang tak ternilai. Hari itu aku pulang dengan hati ringan dan senyum yang tak habis-habis.

Tiga tahun menjadi loper koran 2007 hingga 2009 mengajarkanku tentang arti kerja keras, disiplin, dan rasa syukur. Meskipun hari ini hampir semua orang membaca berita dari layar ponsel, aroma kertas koran yang masih hangat dan berat tas yang penuh di pundakku dulu adalah kenangan yang tak akan pernah pudar.

Dari atas sadel sepeda tua, aku belajar bahwa hidup ini bukan soal seberapa cepat kita sampai, tapi seberapa kuat kita bertahan di tengah jalan.

0 comments :

Posting Komentar