Kamis, 29 Mei 2025

Bagian 3: Becak, Macet, dan Riuhnya Prawirotaman

 

Setelah makan siang yang memanjakan lidah di Gudeg Bu Nur, kami kembali ke pelataran stasiun dengan perut kenyang dan hati senang. Udara Jogja siang itu memang terik, tapi semangat kami belum surut. Tujuan selanjutnya adalah menuju penginapan kami di kawasan Prawirotaman, yang sudah kami pesan sebelumnya.
Alih-alih naik kendaraan bermotor, kami memilih sesuatu yang lebih tradisional dan romantis: becak. Seorang bapak becak berusia sekitar lima puluhan menyambut kami dengan senyum bersahabat, menyeka keringat dari pelipisnya sambil berkata, "Ke Prawirotaman? Bisa, Mas. Ayo naik, pelan-pelan saja."

Kami pun duduk berdampingan di bawah atap mungil becak, membiarkan kaki kami terjulur sedikit ke depan, koper diletakkan di belakang. Becak mulai meluncur perlahan, dan kami menyusuri jalanan Jogja yang mulai padat.

Ternyata, rute menuju Prawirotaman bukan hanya destinasi penginapan wisatawan, tapi juga bagian dari jalur menuju Pantai Parangtritis. Wajar saja jika lalu lintas siang itu begitu ramai. Jalanan dipenuhi mobil-mobil pribadi dengan pelat luar kota, sepeda motor dengan dua atau tiga penumpang, serta deretan bus pariwisata yang berjalan lambat sambil sesekali membunyikan klakson khas mereka.

Trotoar di pinggir jalan tampak hidup. Wisatawan lokal mondar-mandir dengan pakaian santai: topi lebar, sandal jepit, dan ransel punggung. Ada yang menenteng jajanan, ada yang sibuk selfie dengan latar bangunan tempo dulu, dan sebagian terlihat sedang menawar harga di toko batik dan aksesoris kecil yang berjejer di pinggir jalan.

Becak kami tersendat di beberapa titik karena kemacetan ringan. Di persimpangan, polisi lalu lintas tampak sibuk mengatur kendaraan yang berseliweran dari berbagai arah. Di tengah keramaian itu, sesekali terdengar pengamen jalanan dengan gitar kecilnya menyanyikan lagu-lagu nostalgia, menambah warna khas kota ini.

"Panas ya, tapi seru," ujar istriku sambil tertawa, mengelap keringat dengan tisu. Aku mengangguk, setuju sepenuhnya. Cuaca panas dan jalanan padat memang bisa bikin lelah, tapi ada sesuatu dalam kekacauan teratur ini yang membuat kami betah—barangkali karena semuanya terasa hidup.

Sekitar sepuluh menit kemudian, kami mulai memasuki kawasan Prawirotaman. Suasana mulai berubah. Meski masih ramai, jalannya lebih tenang, lebih sempit, dan dikelilingi kafe-kafe mungil, penginapan dengan mural warna-warni, serta toko kerajinan tangan yang tampil dengan estetika etnik-modern. Aroma kopi dan roti panggang tercium samar dari sebuah kedai kecil di pojok jalan.

Kami berhenti di depan penginapan—sebuah bangunan dua lantai bergaya tropis, dengan taman kecil di depannya dan pohon yang berbunga putih. Resepsionis menyambut kami dengan ramah, dan kami disuguhi es teh manis begitu check-in selesai.



0 comments :

Posting Komentar