Sudah waktunya berangkat. Aku menyalakan motor perlahan, membiarkan suaranya menderu halus di pagi yang masih gelap. Rute harianku masih sama: mulai dari Bronggalan, melewati Krampung, Kapasari, menyeberang ke Jagiran, lanjut ke Jagalan, dan berakhir di Peneleh, tepat di depan rumah bersejarah HOS Cokroaminoto. Tapi rasanya pagi ini sungguh berbeda. Kini aku mengendarai motor, bukan lagi sepeda ontel yang sudah menemaniku bertahun-tahun. Setiap aku berhenti untuk mengantar koran, para pelanggan tampak memperhatikan. “Wah, sekarang sudah naik motor, ya?” kata mereka, dengan senyum yang membuat dadaku hangat. Aku hanya membalas, “Pelan-pelan, Bu. Sedikit demi sedikit,” sambil menunduk sopan. Ada yang bahkan menjabat tanganku, mengucapkan selamat. Rasanya seperti loper koran pun punya tempat di hati mereka.
Saat aku mulai melewati Pasar Gembong, suasananya sudah ramai meski langit masih abu-abu. Los-los pasar penuh dengan para pedagang yang menjajakan barang bekas: kulkas rusak, TV tabung, onderdil motor, hingga pakaian sobek. Pembeli lalu-lalang, tawar-menawar terdengar bersahutan. Aroma kopi, minyak bekas, dan keringat bercampur jadi satu, khas Surabaya pagi hari. Aku melajukan motor perlahan, hati-hati agar tidak menyenggol barang dagangan. Dari balik helm, aku mengamati wajah-wajah penuh semangat — mereka semua sedang memperjuangkan hidupnya, sama seperti aku.
Memasuki Jalan Kalianyar, macet sudah menunggu. Aku sudah hafal betul penyebabnya: anak-anak SMPN 37 Surabaya yang menyeberang jalan tanpa memperhatikan lampu lalu lintas. Klakson saling bersahutan, motor berebut jalur, dan suara para orang tua yang mengantar anak-anak sekolah menambah hiruk-pikuk pagi itu. Aku menghela napas panjang. “Sabar… Ini Surabaya, macet adalah sarapan pagi,” gumamku dalam hati. Tapi di tengah kekacauan itu, ada rasa haru. Melihat anak-anak sekolah berseragam rapi membuatku kembali ingat tujuanku: agar suatu hari, adik perempuanku bisa sekolah tanpa harus mengkhawatirkan ongkos dan buku.
Koranku yang terakhir kutaruh di Peneleh, di depan rumah tua peninggalan HOS Cokroaminoto. Aku sempat berhenti sejenak di pinggir jalan. Bangunan itu masih berdiri tenang, meski usianya sudah sangat tua. Angin pelan berhembus dari gang-gang kecil di sekitar rumah, membawa aroma pagi yang khas. Aku menatap langit, menarik napas dalam. “Pak Cokro, saya tahu hidup Anda dulu juga tak mudah. Tapi saya percaya, orang kecil yang jujur dan tekun pun bisa meninggalkan jejak, walau hanya dari langkah kecil setiap pagi.”
Perjalanan pulangku tidak semulus yang kubayangkan. Saat melintasi perlintasan kereta di Ngaglik, palang pintu sudah turun. Kereta lewat, dan matahari mulai naik tinggi. Panasnya luar biasa. Aku berteduh sebentar di atas motor, mengelap keringat dengan handuk kecil yang selalu kusimpan di dalam tas. Helm terasa seperti panci panas di atas kepala, jaket lengket karena peluh. Tapi aku hanya diam, tersenyum kecil. “Tak apa… mungkin rezeki memang harus lewat rel ini dulu,” kataku dalam hati. Menjadi loper koran berarti harus sabar — sabar pada pelanggan, sabar pada cuaca, dan sabar pada perjalanan.
Mungkin orang-orang yang melihatku mengendarai motor hari ini mengira hidupku mudah. Tapi mereka tidak tahu, di balik suara mesin ini, ada kisah sepeda ontel tua, ada lelah yang tersembunyi di balik peluh, ada roti goreng yang sering kutunda untuk kubeli, dan ada pagi-pagi buta di Pasar Gembong yang kulewati demi satu tujuan: hidup yang sedikit lebih baik dari kemarin.
0 comments :
Posting Komentar