Kami
meninggalkan Pantai Siung menjelang senja, saat langit mulai berubah warna
menjadi ungu gelap, dan matahari perlahan tenggelam ke balik bukit karang. Mobil
melaju pelan melewati jalan berkelok, membelah heningnya kawasan pesisir. Tak
banyak kata yang terucap di dalam kabin—masing-masing dari kami masih larut
dalam keindahan pantai dan damainya sore tadi.
Saat memasuki wilayah Imogiri, azan magrib berkumandang
lembut dari masjid kecil di pinggir jalan. Tanpa ragu, kami minta berhenti.
Mobil diparkir di halaman tanah berkerikil, dan kami melangkah menuju masjid
dengan sandal jepit yang berderik ringan.
Masjid itu sederhana namun bersih. Di serambinya terdapat
kursi kayu panjang tempat warga duduk sambil mengobrol. Beberapa anak kecil
baru saja selesai mengaji, berlarian kecil sambil tertawa. Kami berwudu dengan
air sumur yang sejuk, lalu melaksanakan salat magrib berjamaah bersama beberapa
warga setempat.
Setelah salat, kami sempat duduk di serambi masjid. Angin
desa berhembus lembut, menggoyangkan ranting-ranting pepohonan yang tampak
siluetnya di balik langit gelap. Suara jangkrik, cicak, dan binatang malam
lainnya bersahut-sahutan, menciptakan simfoni alami yang tidak bisa ditemukan
di kota.
“Aku suka tempat seperti ini,” bisik istriku sambil
menatap langit yang mulai dipenuhi bintang. “Tenang, damai, dan semua orang di
sini hangat.”
Aku hanya mengangguk, sepenuhnya setuju. Inilah desa yang
sebenarnya.
Setelah cukup beristirahat, kami melanjutkan perjalanan.
Namun sebelum benar-benar kembali ke kota, driver kami menyarankan untuk mampir
sebentar ke Bukit Bintang.
Kami pun mengiyakan. Dan ketika mobil mulai menanjak ke
arah Bukit Patuk, pemandangan malam mulai terbuka. Lampu-lampu dari kota
Yogyakarta di kejauhan menyala bagaikan lautan cahaya yang tenang.
Sesampainya di Bukit Bintang, kami turun dari mobil dan
memilih sebuah warung lesehan yang menghadap langsung ke arah barat—ke arah
kota yang kini sudah mulai tertidur. Kami duduk bersila di atas tikar, memesan sate
ayam, tempe bakar, dan dua gelas teh panas.
Udara malam di bukit cukup sejuk, tetapi tidak menusuk.
Dan yang paling mengejutkan, malam itu begitu bersih. Tidak ada awan, tidak ada
kabut, dan hampir tidak ada polusi cahaya. Seluruh hamparan kota Yogyakarta
terlihat jelas. Bahkan rumah-rumah penduduk, jalanan kecil, dan sawah-sawah
yang mengilap oleh sinar lampu bisa kami lihat dari kejauhan.
“Lihat... bintangnya,” ujarku.
Kami mendongak ke atas. Langit malam penuh bintang,
berkilau tanpa gangguan. Beberapa rasi bintang tampak begitu jelas, seolah
sedang menunjukkan jalan pulang.
Tidak ramai seperti yang sering diceritakan orang-orang.
Malam itu, Bukit Bintang tidak bising. Hanya ada suara percakapan pelan, derik
sendok di piring, dan alunan musik akustik lembut dari salah satu warung.
Kami menikmati sate dan teh hangat itu sambil memandangi
kota yang perlahan menyusut menjadi titik-titik cahaya.
Malam terasa panjang, tapi kami tak ingin buru-buru
pulang.
Di Bukit Bintang malam itu, semuanya terasa sempurna tenang, dan damai.
0 comments :
Posting Komentar