Kamis, 29 Mei 2025

Bagian 6: Senja yang Pulang, Malam yang Tenang



Kami meninggalkan Pantai Siung menjelang senja, saat langit mulai berubah warna menjadi ungu gelap, dan matahari perlahan tenggelam ke balik bukit karang. Mobil melaju pelan melewati jalan berkelok, membelah heningnya kawasan pesisir. Tak banyak kata yang terucap di dalam kabin—masing-masing dari kami masih larut dalam keindahan pantai dan damainya sore tadi.

Perjalanan pulang membawa kami kembali menyusuri perbukitan Gunungkidul, melewati perkampungan warga yang mulai tenang di penghujung hari. Suasana sore terasa syahdu. Cahaya keemasan menyelinap dari balik bukit, jatuh di atap rumah-rumah sederhana. Beberapa anak terlihat bermain bola di halaman, asap tipis dari dapur mengepul dari balik pohon jati, aroma kayu bakar perlahan masuk ke dalam mobil.

Saat memasuki wilayah Imogiri, azan magrib berkumandang lembut dari masjid kecil di pinggir jalan. Tanpa ragu, kami minta berhenti. Mobil diparkir di halaman tanah berkerikil, dan kami melangkah menuju masjid dengan sandal jepit yang berderik ringan.

Masjid itu sederhana namun bersih. Di serambinya terdapat kursi kayu panjang tempat warga duduk sambil mengobrol. Beberapa anak kecil baru saja selesai mengaji, berlarian kecil sambil tertawa. Kami berwudu dengan air sumur yang sejuk, lalu melaksanakan salat magrib berjamaah bersama beberapa warga setempat.

Setelah salat, kami sempat duduk di serambi masjid. Angin desa berhembus lembut, menggoyangkan ranting-ranting pepohonan yang tampak siluetnya di balik langit gelap. Suara jangkrik, cicak, dan binatang malam lainnya bersahut-sahutan, menciptakan simfoni alami yang tidak bisa ditemukan di kota.

“Aku suka tempat seperti ini,” bisik istriku sambil menatap langit yang mulai dipenuhi bintang. “Tenang, damai, dan semua orang di sini hangat.”

Aku hanya mengangguk, sepenuhnya setuju. Inilah desa yang sebenarnya.

Setelah cukup beristirahat, kami melanjutkan perjalanan. Namun sebelum benar-benar kembali ke kota, driver kami menyarankan untuk mampir sebentar ke Bukit Bintang.

Kami pun mengiyakan. Dan ketika mobil mulai menanjak ke arah Bukit Patuk, pemandangan malam mulai terbuka. Lampu-lampu dari kota Yogyakarta di kejauhan menyala bagaikan lautan cahaya yang tenang.

Sesampainya di Bukit Bintang, kami turun dari mobil dan memilih sebuah warung lesehan yang menghadap langsung ke arah barat—ke arah kota yang kini sudah mulai tertidur. Kami duduk bersila di atas tikar, memesan sate ayam, tempe bakar, dan dua gelas teh panas.

Udara malam di bukit cukup sejuk, tetapi tidak menusuk. Dan yang paling mengejutkan, malam itu begitu bersih. Tidak ada awan, tidak ada kabut, dan hampir tidak ada polusi cahaya. Seluruh hamparan kota Yogyakarta terlihat jelas. Bahkan rumah-rumah penduduk, jalanan kecil, dan sawah-sawah yang mengilap oleh sinar lampu bisa kami lihat dari kejauhan.

“Lihat... bintangnya,” ujarku.

Kami mendongak ke atas. Langit malam penuh bintang, berkilau tanpa gangguan. Beberapa rasi bintang tampak begitu jelas, seolah sedang menunjukkan jalan pulang.

Tidak ramai seperti yang sering diceritakan orang-orang. Malam itu, Bukit Bintang tidak bising. Hanya ada suara percakapan pelan, derik sendok di piring, dan alunan musik akustik lembut dari salah satu warung.

Kami menikmati sate dan teh hangat itu sambil memandangi kota yang perlahan menyusut menjadi titik-titik cahaya.

Malam terasa panjang, tapi kami tak ingin buru-buru pulang.

Di Bukit Bintang malam itu, semuanya terasa sempurna tenang, dan damai.

0 comments :

Posting Komentar