Jam di dinding berdetak pelan, menunjukkan pukul 03.30 pagi. Dalam hening yang masih menyelimuti, aku perlahan membuka mata. Dunia belum terbangun, hanya remang-remang cahaya yang masuk dari sela tirai jendela.
Tubuhku berat oleh sisa mimpi, tapi tugas memanggil. Aku bangkit, melangkah ke kamar mandi. Air dingin menyentuh wajahku, membangkitkan segenap semangat yang hampir padam. Aku menarik napas panjang, mempersiapkan diri menembus pagi yang masih gelap.
Motor Revo tua yang setia menunggu di halaman rumah kuhidupkan. Suara mesinnya kecil tapi tegar, seperti aku yang harus kuat menjalani hari.Perjalananku dimulai melewati Jalan Tambakrejo, yang juga dikenal sebagai Pasar Kapas Krampung. Di sana sudah ramai pedagang, memenuhi jalan dengan tumpukan sayur, buah, dan aroma rempah. Suara tawar-menawar, teriakan ringan, dan hiruk-pikuk pasar mengisi udara pagi. Aku menyusuri jalan dengan hati-hati, tak ingin mengganggu semangat orang-orang yang mulai bekerja.
Setelah melewati keramaian, suasana berubah sepi di Jalan Kapas Krampung. Sepi yang damai, hanya diterangi lampu jalan yang temaram. Di sana, kios koran milik agen Heru berdiri dengan tumpukan koran yang menunggu. Beberapa teman loper sudah berkumpul, wajah mereka letih tapi penuh semangat.
“Halo, Heru! Kok koran telat maneh, yo?” tanyaku, suara masih serak karena dingin.
Heru mengangkat bahu sambil tersenyum getir, “Yo, Mas, percetakan telat. Biasane jam tiga pagi udah nyampe, iki malah kesiangan.”
Salah satu loper lain ikut bergumam, “damputt kebiasaan.”
Aku mengangguk, “Ya wes lah. Kita sabar aja. Sing penting siap-siap, nggak boleh terlena.”
Aku mengangkat telepon, mengabari teman loper lain, “Rek, koran telat lagi. Aku bakal telat nganter juga. Siap-siap ya.”
Suara di ujung telepon menjawab santai, “Wes gak papa, Mas. Sing penting kita sehat dan tetap semangat.”
Aku tersenyum kecil, lalu menghidupkan motor dan melanjutkan perjalanan. Belok kanan ke Jalan Putro Agung yang masih sepi, di mana hanya suara angin dan mesin motor yang menemani. Hening pagi seperti memberi ruang untuk merenung, untuk bersiap menghadapi hari.
Tak lama kemudian, aku membelok ke kiri menuju Jalan Ploso Baru. Di sini, suasana mulai hidup. Orang-orang berlalu lalang menuju Pasar Bronggalan. Obrolan ringan, tawa kecil, dan langkah tergesa memenuhi udara.
Sesampainya di agen Mas Siswanto di Jalan Ploso Baru 104, aku segera mengabari teman-teman loper yang sudah menunggu.
“Rek, kabar’e koran telat lagi. koyoke awakdewe bakalan telat,” kataku membuka pembicaraan.
Mereka saling bertukar pandang, lalu salah satu teman bernama Joko menjawab sambil tersenyum, “Ya wis lah, Mas. Wong percetakan memang kayak gitu. Kita ini loper, harusnya sabar-sabar.”
Bambang, yang duduk di pojok, menimpali, “Sabar itu memang kunci, tapi kadang bikin pusing. Pelanggan nanya terus, katanya koran belum datang.”
Slamet, yang paling santai, nyengir dan berkata, “Yo wes, paling kita kasih alasan aja, ‘Percetakan telat, Mas. Sabarlah.’ Biasane mereka ngerti kok.”
Aku tertawa kecil, “Iya, bener. Kita harus jaga hubungan baik sama pelanggan. Tapi emang kudu kreatif juga kalau sering telat gini.”
Joko menambahkan, “Sing penting kita kompak. Kalau kita ribut di lapangan, pelanggan juga bingung.
Bambang mengangguk, “Nggak papa lah, asal koran sampai. Yang penting kita kuat, kerja bareng-bareng.”
Kami tertawa dan ngobrol ringan, suasana jadi hangat walau kepala penuh dengan tekanan kerjaan.
0 comments :
Posting Komentar