Minggu, 25 Mei 2025

Perjalanan ke Surabaya

Tahun 2003, di sebuah pagi yang cerah di Desa Kalimati, Kecamatan Prambon, Sidoarjo, seorang anak laki-laki bernama Elvan bersiap untuk melakukan perjalanan yang sudah lama ia impikan—pergi ke Surabaya sendirian, menggunakan transportasi umum.

Dengan ransel kecil di punggung, Elvan berdiri di pinggir jalan desa, menunggu angkot kota berwarna biru yang akan membawanya ke Krian. Ketika angkot itu datang, ia melambaikan tangan dan naik dengan semangat. Jalanan masih lengang, dan suara mesin angkot menderu pelan saat melewati sawah-sawah dan rumah-rumah warga.

Setibanya di terminal Krian, Elvan turun dan mulai berjalan kaki menuju stasiun. Jalan yang ia lalui bukan jalan besar, melainkan gang-gang kecil yang penuh kehidupan. Ia melewati deretan penjual hewan—ayam, burung, bahkan kelinci dalam kandang bambu. Bau khas pasar bercampur antara bau jerami, tanah basah, dan keringat manusia.

Beberapa langkah kemudian, ia melewati pedagang sayur yang menggelar dagangannya di atas terpal lusuh: tomat, cabai, kangkung, dan daun singkong bertumpuk rapi. Di sudut gang, ada pula lapak barang bekas—setrika tua, jam dinding rusak, dan majalah-majalah lama bertumpuk tanpa urutan.

Elvan terus melangkah, menyeberangi rel kecil, dan akhirnya tiba di Stasiun Krian. Bangunannya tua, catnya mulai mengelupas, tapi bagi Elvan, tempat itu tampak megah. Ia masuk ke ruang loket, dan dengan percaya diri berkata, “Satu tiket ke Surabaya, naik KA Dhoho.”


Petugas loket memberikan selembar tiket kertas tebal berwarna oranye. Di sana tertulis:

KA Dhoho – Krian tujuan Surabaya

Harga: Rp150

Dengan tiket di tangan, Elvan merasa seperti petualang sejati. Namun, petualangan sesungguhnya baru dimulai saat kereta datang.

Ketika KA Dhoho berhenti di peron dan pintu-pintunya terbuka, penumpang langsung menyerbu masuk. Elvan kecil pun ikut berdesakan, terdorong ke dalam gerbong kereta ekonomi yang penuh sesak. Bau campur aduk antara tubuh berkeringat, nasi bungkus, dan asap rokok menyesaki udara.

Di dalam kereta, hampir tak ada ruang tersisa. Elvan kecil terhimpit di antara tubuh-tubuh dewasa, tangannya meremas ransel kecilnya sambil mencoba bertahan. Udara pengap dan panas membuat napasnya terasa berat. Di tengah keramaian, terdengar suara bayi menangis, ibu-ibu berteriak pada anaknya, dan para pedagang asongan berseliweran sambil menjajakan dagangan:

“Aqua ! Nasi bungkus lima ratus!”

“Permen... rokok... minuman dingin!”

Ketika kereta berhenti di Stasiun Boharan, seorang ibu penjual masuk membawa nampan besar berisi onde-onde yang mengepul hangat. Suara beliau menggema di antara kebisingan:

"Onde-onde! Hangat... isi kacang! Onde-onde, sewu telu sewu telu!"

Elvan menoleh. Bau wijen goreng dan kacang manis membuat perutnya langsung keroncongan. Ia mengulurkan uang receh yang sudah disiapkan sejak dari rumah, dan sang ibu memberikan satu buah onde-onde—sebesar bola tenis—dibungkus kertas cokelat.

Onde-onde itu hangat, kulit luarnya kenyal dan bertabur biji wijen, sementara bagian dalamnya penuh dengan kacang hijau manis yang legit. Di tengah hiruk pikuk gerbong, Elvan duduk sebentar di lantai, menggigit onde-onde itu dengan lahap. Rasa nikmatnya seperti hadiah di tengah perjalanan yang melelahkan.

Namun tak lama, gerbong kembali sesak. Elvan merasa napasnya makin sempit karena desakan penumpang yang terus berdatangan. Ia lalu bangkit dan mendorong diri keluar dari kerumunan, menuju bordes, tempat sambungan antar gerbong.

Di sana, meskipun lantainya bergetar dan suara logam bersambungan terdengar nyaring, Elvan bisa berdiri lebih leluasa. Ia menggenggam besi pegangan dan melihat keluar jendela kecil, angin menyapu wajahnya. Ia masih mengunyah onde-onde itu pelan, menikmati sisa rasanya sambil menatap sawah dan rumah-rumah yang melintas cepat di luar.

Di bordes kereta KA Dhoho yang berguncang hebat, Elvan kecil berdiri sambil menikmati udara segar yang menyelinap dari celah pintu. Onde-onde yang tadi ia beli dari ibu penjual di Stasiun Boharan kini tinggal separuh, digigitnya pelan-pelan sambil menatap ke luar.

Ini pertama kalinya Elvan melihat dunia dari dalam kereta. Pemandangan sawah, rumah-rumah, dan jalan kecil melintas cepat. Anak-anak di pinggir rel melambai, beberapa melompat kegirangan saat kereta lewat. Elvan membalas lambaian mereka dengan senyum malu-malu. Semua terasa seperti mimpi.

Kereta mulai melambat. Dari kejauhan, Elvan melihat sebuah bangunan besar dengan papan bertuliskan Stasiun Wonokromo. Di sana, banyak penumpang turun dan naik, beberapa buru-buru melangkah, dan pedagang asongan berganti wajah. Dari jendela kecil di bordes, Elvan menatap pemandangan stasiun dengan rasa takjub. Atap-atap melengkung, peron ramai, dan suara pengeras terdengar mengumumkan nama-nama kota tujuan.

"Ini Surabaya, ya?" gumam Elvan pelan. Tapi ia tahu masih ada satu stasiun lagi yang lebih besar: Gubeng.

Beberapa menit kemudian, kereta kembali bergerak, dan tak lama kemudian memasuki Stasiun Surabaya Gubeng. Bangunannya lebih megah, peron-peronnya lebih luas, dan kereta-kereta lain tampak berjajar di jalur berbeda. Elvan, yang masih di bordes, melihat hiruk pikuk penumpang yang turun dan naik di bawah cahaya lampu yang mulai redup karena sore menjelang.

Tiba-tiba, rasa gugup menyelusup ke dadanya. Ia mengingat sesuatu yang dikatakan pamannya beberapa hari sebelumnya:

"Kalau mau ke Tugu Pahlawan, jangan turun di Gubeng, lee. Turunnya di Surabaya Kota, itu stasiun terakhir. Orang sini biasanya nyebutnya Stasiun Semut."

Elvan menelan ludah. Ia hampir turun! Andai ia ikut arus penumpang di Gubeng tadi, ia akan salah tempat. Dengan cepat ia menggenggam erat ranselnya dan bersyukur masih di bordes.

Kereta kembali melaju, meninggalkan Stasiun Gubeng yang perlahan menghilang dari pandangannya. Senja mulai turun, dan lampu-lampu pinggir rel menyala satu per satu. Elvan bersandar, lelah tapi puas. Perjalanan masih berlanjut—sedikit lagi, ia akan sampai di Surabaya Kota, tujuan akhir, tempat di mana perjalanannya sebagai penjelajah kecil benar-benar dimulai.








0 comments :

Posting Komentar