Minggu, 25 Mei 2025

Siang Hari, Sepeda Pancal, dan Jalan Bernama Jolotundo

Pagi-pagiku selalu dimulai lebih awal dari kebanyakan anak remaja lainnya. Saat banyak teman masih terlelap, aku sudah mengayuh sepeda, membawa puluhan eksemplar koran menuju rumah-rumah pelanggan yang tersebar di sudut-sudut kota. Itulah duniaku sebagai loper koran.

Namun cerita hidupku tidak berhenti di pagi hari. Ketika mentari mulai naik tinggi, tubuh yang lelah belum sempat istirahat penuh, aku kembali harus mengayuh sepeda. Bukan lagi untuk mengantar koran, tapi menuju tempat yang tak kalah penting: sekolah.

Aku adalah siswa SMK swasta di Surabaya, jurusan Teknik Gambar Bangunan. Sekolahku terletak di Jalan Kaliwaron, dan jam masukku bukan pagi seperti kebanyakan sekolah—melainkan pukul 13.00 WIB hingga sore, pukul 17.00 WIB. Waktu belajar yang cukup melelahkan jika diingat bahwa tenagaku sudah setengah terkuras oleh pekerjaan loper koran pagi tadi.

Tapi ada satu hal yang membuat setiap perjalanan ke sekolah itu menyenangkan: pertemuan dengan sahabat-sahabat sepedaku. Mereka adalah Arief Chengho, Andi Betem, Hendra B, Dhika Keling, Guns Kuns, dan Reza Bros. Kami punya titik temu: Jalan Jolotundo.

Entah kenapa, jalan itu selalu terasa istimewa. Mungkin karena di situlah canda tawa kami sering dimulai. Di situlah kami saling menunggu dengan sepeda pancal masing-masing, saling menebak siapa yang terlambat hari itu, dan saling adu cepat saat jalan.

“Bro, ayo ngebut, bisa telat ini nanti!”

Suara Andi Betem memecah panasnya siang, disusul gelak tawa kami yang saling bersahutan.

Jalan itu, yang membentang dari pusat kota hingga ke arah Kaliwaron, adalah saksi bisu kenangan remaja kami. Jalannya masih tetap sama hingga hari ini. Lubang-lubangnya, tikungan tajamnya, dan warung di pojokan yang dulu sering kami lewati—semuanya seperti tak berubah, walau waktu terus berjalan.

Di tengah perjalanan, kami sering berpapasan dengan siswa lain. Ada yang dari jurusan Elektrikal, ada pula dari jurusan Mesin. Walaupun kami beda kelas, bahkan awalnya tak kenal nama, wajah, atau asal mereka, tapi karena kami selalu menempuh rute yang sama, lama-lama kami saling sapa, lalu bersahabat.

"Satu sekolah, satu arah, satu tujuan: belajar," pikirku dalam hati saat itu.

Kami belajar saling menghargai dalam kayuhan. Tak ada yang mendahului dengan sombong, tak ada yang meninggalkan teman di belakang. Di atas sepeda pancal, kami seperti keluarga kecil yang tak peduli beda jurusan, tak peduli status ekonomi, yang penting saling menjaga.

Aku masih ingat betul bagaimana panasnya matahari Surabaya membakar punggungku, bagaimana bajuku sering basah oleh keringat sebelum pelajaran dimulai, dan bagaimana aku harus tetap duduk tenang di bangku kelas sambil menahan kantuk karena sudah bekerja sejak subuh.

Namun dalam hatiku berkata:

"Inilah hidupku. Pagi aku bekerja, siang aku belajar. Dan di antara dua dunia itu, ada tawa, semangat, dan persahabatan yang menemani kayuhan sepedaku."

Kini, meski waktu terus berjalan, jalan Jolotundo tetap sama. Tapi kami, anak-anak SMK yang dulu mengayuh sepeda bersama, sudah menempuh jalan hidup masing-masing. Namun satu hal yang tak pernah berubah: kenangan kami di jalan itu. Kenangan yang tumbuh dari peluh, tawa, dan semangat untuk terus melangkah, walau hanya dengan sepeda pancal.

0 comments :

Posting Komentar