Pagi itu, langit masih gelap ketika aku memulai rutinitas sebagai seorang loper koran. Angin dini hari menyentuh kulit, membuat tubuh menggigil, namun aku sudah terbiasa. Sejak kelas 1 SMK, aku menjalani dua peran: sebagai murid dan sebagai pengantar berita. Bekerja sebelum fajar, belajar setelah matahari naik.
Tugas mengantarkan 65 eksemplar koran itu sudah kulakukan hampir setiap hari. Rute panjang dari Bronggalan Sawah ke Ploso Timur, Lebak Arum, Gading Pantai, hingga Pantai Mentari sudah seperti hafalan luar kepala. Namun hari itu berbeda—hari itu adalah hari olahraga di sekolah. Aku harus tiba di sekolah dengan baju olahraga lengkap, membawa sepatu cadangan, dan baju ganti. Dalam tas punggungku yang berat, tersimpan semua itu, ditambah beban tanggung jawab yang tak kalah berat.
Setelah menyelesaikan pengiriman koran terakhir di Pantai Mentari, aku segera memutar arah sepeda menuju sekolah. Jaraknya lumayan jauh, melewati beberapa jalan besar dan menanjak. Aku harus sampai sebelum bel dibunyikan. Nafasku mulai ngos-ngosan. Keringat sudah membasahi punggung meski matahari belum tinggi.
Tiba-tiba, saat aku menanjak di jalan sempit dekat perumahan TNI AL Kenjeran, rantai sepeda lepas. Aku menghentikan kayuhan, menepi, dan jongkok untuk memperbaikinya. Ternyata, salah satu baut pengikat gear belakang kendur. Tanganku langsung kotor terkena oli, jari-jariku hitam dan licin. Dalam hati aku mengeluh.
"Kenapa harus hari ini? Kenapa selalu sepeda ini yang bermasalah, padahal aku harus buru-buru..."
Dengan sisa tenaga dan sedikit panik, aku kencangkan baut itu seadanya. Tak ada alat, hanya dengan tangan dan batu kecil yang kupungut di pinggir jalan. Setelah rantai kembali terpasang, aku lanjut mengayuh. Lutut mulai pegal, tapi waktu terus mendesak.
Di tengah perjalanan, aku melihat teman-temanku lewat dengan sepeda motor. Beberapa di antaranya menyalipku sambil tertawa atau menyapa. Mereka sudah rapi, beberapa bahkan memakai parfum. Dan aku? Aku masih berpeluh, masih mengayuh, masih menanggung beban tas yang menggantung di punggung.
Dalam hati, aku mengaku... aku iri.
“Mereka diantar orang tuanya atau naik motor. Sementara aku harus kerja dulu subuh-subuh, lalu belajar dalam keadaan capek. Apa orang tuaku tidak bisa memberiku sepeda motor juga? Apa aku harus begini terus?”
Tapi pikiran itu cepat kutepis. Karena aku tahu, sepeda pancal ini adalah saksi perjuanganku. Setiap roda yang berputar adalah langkah mendekat ke masa depan. Memang aku harus bekerja dulu, memang aku harus mengantuk di kelas kadang-kadang. Tapi aku tidak pernah minta-minta. Aku menghasilkan uang sendiri, dari usaha sendiri.
Sampai di sekolah, bel sudah hampir berbunyi. Dengan cepat aku masuk ke kamar mandi, ganti baju olahraga, cuci tangan seadanya untuk membersihkan oli. Sepatu ganti kugunakan, dan aku keluar lapangan meski napasku masih tak teratur. Wajahku mungkin lelah, tapi hatiku tetap teguh.
Aku tahu, aku tidak seberuntung teman-temanku. Tapi aku belajar bertanggung jawab, bekerja keras, dan berdiri dengan keringat sendiri.
Dan kini, aku percaya...
Sepeda pancal ini mungkin lambat, tapi ia membawaku lebih jauh dari sekadar tempat. Ia mengantariku menjadi pribadi yang lebih kuat.
0 comments :
Posting Komentar