Kereta Pasundan akhirnya melambat, suara rem dan deru roda besi di atas rel menyambut kami dengan gaya khas stasiun-stasiun lama: penuh sejarah, hangat, dan sedikit bising. Stasiun Lempuyangan berdiri kokoh di depan mata, dengan langit Yogyakarta yang kini terang sepenuhnya. Sinar matahari menyorot dari sela-sela atap peron, menciptakan bayangan yang memanjang, seolah ikut menyambut kedatangan para penumpang.
Kami turun dari gerbong dengan langkah ringan, rasa kantuk perlahan tergantikan oleh antusiasme yang menghangatkan dada. Suara pedagang asongan, pengumuman kedatangan, dan derap kaki penumpang lain saling bersahutan di dalam kepala, tapi tidak membuat pusing—justru menghadirkan suasana khas Jogja yang sederhana namun penuh jiwa.
Perut kami mulai mengirimkan kode. Jam tangan menunjukkan pukul sebelas lebih sedikit, waktu yang pas untuk mencari makan siang. Sambil menyeret koper, kami berjalan keluar dari area stasiun, menyusuri deretan becak yang berjajar rapi dan pengemudi ojek online yang saling menawarkan jasa dengan senyum ramah. Di kejauhan, aroma gudeg yang legit mulai menyusup ke hidung.
"Aku pengin gudeg, tapi jangan yang terlalu manis, ya," kata istriku sambil tertawa kecil.
Pilihan kami jatuh pada Gudeg Bu Nur, sebuah tempat makan yang cukup terkenal di sekitar stasiun. Warungnya sederhana, tidak mencolok, tapi ramai oleh pelanggan yang sudah paham rasa. Di balik etalase kaca, aneka lauk tersusun rapi: krecek, telur pindang, ayam suwir, tahu bacem, dan tentu saja—gudeg nangka yang menggoda dengan warna cokelat keemasan.
Kami duduk di sudut, memesan seporsi gudeg komplit—dengan ayam kampung, telur, sambal krecek, dan nasi hangat. Rasa manis gurih dari gudeg berpadu dengan pedasnya krecek memberi kombinasi yang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Es teh manis menjadi pelengkap yang pas di tengah cuaca Jogja yang mulai menghangat.
Suasananya sederhana tapi syahdu. Di meja sebelah, beberapa mahasiswa lokal sedang bercanda sambil makan, sementara dari dapur terdengar denting sendok dan suara ibu-ibu memasak. Suasana khas Jogja: santai, bersahabat, dan tidak pernah terburu-buru.
Selesai makan, kami duduk sejenak, tidak terburu-buru pergi. Kami membiarkan waktu berjalan perlahan—karena memang seperti itulah Jogja seharusnya dinikmati: dengan hati yang ringan dan perut yang kenyang.
0 comments :
Posting Komentar