Langit Surabaya masih membalutkan warna lembutnya ketika kami tiba di Stasiun Gubeng. Waktu masih menunjukkan pukul empat lebih sedikit, tapi denyut kehidupan di stasiun sudah menggeliat. Kami menggenggam erat tiket yang sudah dipesan jauh hari, berjalan beriringan menuju counter boarding pass, melewati deretan penumpang lain yang tampak terburu-buru namun tetap tertib. Ada yang sibuk dengan kopernya, ada pula yang masih memejamkan mata, duduk bersandar dengan ransel sebagai bantal darurat.
Di depan kami, papan digital menampilkan informasi keberangkatan: KA Pasundan – Tujuan Akhir: Kiaracondong, Bandung, dengan pemberhentian kami di Lempuyangan, Yogyakarta. Meski ini kelas ekonomi, kami merasa nyaman. Justru suasana di dalam kereta begitu teratur, bersih, dan cukup nyaman. Kursi kami berada di gerbong keempat, dan seperti sudah diperkirakan, kereta penuh—tiket kami bahkan termasuk yang terakhir saat pemesanan.
Begitu melangkah masuk, hawa sejuk dari AC langsung menyambut. Tidak ada lagi gerah seperti cerita-cerita lama tentang ekonomi masa lalu. Suara koper yang diseret, sapaan penumpang yang berpapasan, serta pengumuman dari pengeras suara menciptakan harmoni tersendiri di pagi hari itu.
Kami duduk sesuai nomor yang tertera di tiket. Di seberang, seorang ibu muda menggendong bayinya yang masih terlelap. Di samping kami, sepasang lansia dengan bekal nasi bungkus dalam tas kain. Tak lama, kereta pun bergerak perlahan meninggalkan Gubeng, disambut cahaya matahari yang mulai naik malu-malu dari ufuk timur.
Di tengah perjalanan, seorang pramusaji lewat dengan troli. Ia menawarkan berbagai camilan ringan, air mineral, hingga nasi goreng instan dan mie rebus dalam cup. Kami membeli kopi hitam dan sepotong roti keju, sekadar pengisi perut sambil menikmati perjalanan. Bau harum dari dapur mini kereta sesekali tercium, bersaing dengan aroma pembersih dari toilet yang bersih dan wangi di ujung gerbong.
Ketika melewati antara petak stasiun Nganjuk dan Madiun, pemandangan berubah drastis. Deretan sawah menghijau membentang sejauh mata memandang, dihiasi petani yang tampak seperti titik-titik kecil dari kejauhan. Angin mengayun lembut padi yang menari mengikuti irama alam, menciptakan lukisan hidup yang tak mungkin ditemukan di kota.
Kami sempat saling bersandar, bercanda kecil, hingga akhirnya mata mulai berat. Kereta tetap melaju dalam irama stabil, seperti lagu nina bobo yang tidak pernah selesai. Kami pun tertidur sejenak, membiarkan tubuh beristirahat dalam damai perjalanan.
Ketika kami terbangun, langit sudah mulai berubah warna. Stasiun Lempuyangan tinggal beberapa menit lagi. Kami saling pandang, tersenyum kecil—liburan baru saja dimulai.
0 comments :
Posting Komentar