Setelah mengisi tas koranku dengan bundel harian Jawa Pos, aku kembali menaiki sepeda pancalku. Rute yang kutempuh pagi itu seperti biasanya—berangkat dari agen di Bronggalan Sawah, lalu mulai memasuki gang-gang sempit di Ploso Timur, melintasi gang-gang padat rumah warga, di mana koran harus diantar hingga ke depan pintu atau digantungkan di pagar.
Ploso Timur pagi itu terlihat seperti kota kecil yang tertutup abu. Setiap kayuhan terasa lebih berat, bukan hanya karena tubuh masih ngantuk, tapi karena udara yang kuhirup terasa lebih tebal. Mata mulai perih. Kelilipan abu yang beterbangan membuatku harus sering berkedip dan menyeka mata dengan punggung tangan. Kaca mata yang kupakai pun tak banyak membantu—abu tetap berhasil menyusup dari sela-selanya.
Aku lanjutkan perjalanan menuju Kalijudan, kawasan padat dengan pelanggan setia yang sudah hafal suara rantai sepeda tuaku. Biasanya ada beberapa warga yang menyapa, membuka pintu lebih awal, atau sekadar menunggu di depan rumah sambil menyapa ramah. Tapi pagi itu, semua rumah sepi. Jendela tertutup rapat, halaman-halaman rumah tampak putih kelabu—seperti habis terkena hujan salju, hanya saja ini bukan salju. Ini abu vulkanik.
Menjelang pukul 06.00 pagi, saat langit seharusnya mulai cerah dan matahari muncul, justru ada yang membuatku terdiam sejenak di ujung jalan Kalijudan. Aku menengok ke belakang.
Jalanan aspal yang biasanya hitam pekat, kini berubah menjadi lautan abu vulkanik. Lapisan tipis itu menutup seluruh permukaan jalan, membuat setiap bekas roda sepedaku terlihat jelas. Angin yang bertiup pelan pun mengangkat kembali abu ke udara. Langit tak berubah—tetap kelabu, tak ada semburat jingga seperti biasanya.
Aku lanjutkan kayuhanku ke titik terakhir: perumahan Babatan. Perumahan yang tenang dan teratur itu pun tidak luput dari lapisan abu. Setiap kali aku meletakkan koran, aku mengetuk pagar perlahan—takut membuat debu beterbangan lagi. Tak jarang, aku menemui koran edisi kemarin yang masih tersimpan rapi di depan rumah—mungkin penghuninya memilih tak keluar rumah sama sekali hari itu.
Belakangan, setelah aku pulang dan sempat menonton berita, aku benar-benar memahami apa yang terjadi.
Gunung Kelud, yang terletak di perbatasan Kediri dan Blitar, meletus hebat pada malam tanggal 13 Februari 2014, tepat sebelum tengah malam. Letusan itu mengirimkan kolom abu hingga 17 kilometer ke langit, dan sebarannya menjangkau puluhan kota di Pulau Jawa—bahkan hingga Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Surabaya, yang berjarak sekitar 150 kilometer dari lokasi letusan, tak luput dari imbasnya. Abu yang terbawa angin ke arah timur menyelimuti kota ini dalam waktu semalam. Bandara ditutup, sekolah-sekolah diliburkan, dan banyak aktivitas warga dihentikan karena kualitas udara yang memburuk.
Namun pagi itu, kami para loper koran, tetap turun ke jalan. Kami tidak tahu seberapa berbahaya partikel abu itu bagi paru-paru atau mata kami. Kami hanya tahu satu hal: tugas harus dijalankan.
Karena di setiap lembar koran yang kami bawa, terdapat kabar, informasi, dan harapan yang dibutuhkan oleh orang-orang yang mungkin sedang bingung dan takut menghadapi apa yang terjadi.
0 comments :
Posting Komentar