Minggu, 25 Mei 2025

Perjalanan ke Rumah Nenek

 Kereta KA Dhoho akhirnya berhenti di perhentian terakhir: Stasiun Surabaya Kota, atau yang lebih dikenal orang sebagai Stasiun Semut. Langit sudah mulai jingga saat Elvan kecil melangkah turun dari kereta, menggenggam erat ransel kecilnya yang sudah mulai terasa berat di punggung.

Begitu kakinya menyentuh peron stasiun, Elvan menatap sekeliling. Bangunan tua stasiun dengan dinding tebal dan jendela-jendela besar itu terasa asing tapi memikat. Ia menarik napas dalam-dalam. Ini adalah Surabaya—kota besar yang dulu hanya ia dengar dari cerita orang-orang desa.

Keluar dari stasiun, Elvan berjalan kaki menyusuri gang-gang sempit yang padat di kawasan Kapasari. Lorong-lorong kecil yang diapit rumah-rumah berdempetan itu ramai oleh suara anak-anak bermain, ibu-ibu menyapu halaman, dan aroma masakan yang keluar dari dapur-dapur sempit. Ia harus menepi setiap kali motor lewat atau gerobak dorong menyalip dari belakang. Satu-satunya petunjuk jalan baginya hanyalah petunjuk dari pamannya yang pernah bercerita jalur ini.

Langkah kakinya terus menapaki gang hingga sampai di rel kereta persimpangan antara jalur ke Stasiun Pasar Turi dan Stasiun Sidotopo. Di dekat rel itu, suasananya berubah. Ada kerumunan orang di tanah lapang kecil, berteriak dan bersorak sambil menatap ke langit.

Elvan penasaran dan menepi sebentar. Ia melihat lomba balap merpati sedang berlangsung. Puluhan pria berkumpul, sebagian duduk di tanah, sebagian berdiri sambil membawa merpati di tangan. Suara peluit, tepuk tangan, dan tawa membaur dengan suara burung yang melesat rendah ke arah pemiliknya. Uang receh dan lembaran ribuan berpindah cepat di antara tangan-tangan mereka—judi balap merpati, sesuatu yang baru bagi Elvan.

Ia hanya mengamati sebentar, lalu kembali melanjutkan perjalanan. Hari makin sore. Elvan berjalan melewati kawasan Tambak Madu, di mana rumah-rumah kayu berdiri di atas lahan basah dan bau lumpur sungai bercampur dengan udara sore yang lembap. Beberapa anak memancing di pinggiran tambak, ada juga yang bermain bola di tanah becek.

Langkah kakinya makin berat, tapi semangatnya tak padam. Ia sudah bisa membayangkan wajah nenek yang akan menyambutnya dengan senyum dan segelas teh hangat.

Akhirnya, setelah lebih dari satu jam berjalan kaki sejak turun dari kereta, Elvan sampai di tujuan—Tambak Rejo, tepat di belakang RSUD Dr. Soewandhie. Rumah neneknya berdinding papan, catnya sudah memudar, tapi terasa hangat dan akrab. Dari balik pintu, nenek menyambutnya dengan pelukan hangat.

“Lho, Elvan! Sendirian kamu ke sini?”

Elvan hanya tersenyum lelah, tapi matanya bersinar.

“Iya, Nek... naik kereta, dari Kalimati sampai sini.”

Begitu Elvan kecil melangkah ke dalam rumah papan yang sederhana di Tambak Rejo, aroma kayu tua dan bau khas rumah nenek langsung menyambutnya. Neneknya, seorang perempuan tua berjilbab lusuh dan berkain batik, langsung memeluknya erat.

“Lho, lee! Sendirian kamu ke sini?” tanya Nenek, terkejut tapi senang.

Elvan mengangguk, menurunkan ranselnya perlahan. “Iya, Nek. Naik angkot dari Kalimati, terus kereta dari Krian. Sampai sini jalan kaki.”

Nenek menggeleng pelan, antara kagum dan khawatir. Ia mengusap kepala cucunya penuh sayang. “Ya Allah, Elvan... bocah cilik kok berani banget. Nggak takut nyasar, Nak?”

“Enggak, mbah,” jawab Elvan sambil tersenyum. “Aku kan sudah pernah ke sini sama ayah dulu. Inget jalannya.”

Nenek tertawa kecil. “Wes, wes... ayo masuk. Mandinya nanti aja, makan dulu. Nenek masih punya sisa sayur lodeh. Masih anget.”

Setelah makan dan cuci kaki, Elvan duduk di dipan kayu depan rumah. Sambil menikmati semilir angin sore dan suara anak-anak main bola di gang, Nenek duduk di sebelahnya, merajut benang sambil bertanya,

“Elvan libur sekolah sampai kapan, lee?”

“Sampai minggu depan, mbah. Jadi aku pengin di sini dulu, nginep seminggu. Boleh, kan?”

“Ya boleh to, Nak. Mbah malah seneng kamu ke sini. Tapi lain kali ngomong dulu ke Bapak-Ibumu, jangan bikin mereka khawatir.”

“Iya, mbah,” jawab Elvan sambil mengangguk.

Tak lama kemudian, tetangga sebelah, Bu kasiati, lewat sambil membawa ember. Ia tertegun melihat Elvan, lalu mendekat.

“Lho, ini Elvan to? Lah kok sendirian ke sini dari Sidoarjo?” tanyanya heran sambil menaruh ember di pinggir tangga rumah.

Elvan tersenyum sopan, berdiri sebentar. “Iya, Bu. Aku pengin ke sini sendiri. Belajar mandiri.”

Bu kasiati terkekeh, menatap nenek Elvan sambil berkata, “Wah, hebat ini cucumu. Anak sekarang mana ada yang berani naik kereta sendirian.”

Nenek hanya tersenyum sambil mengangguk pelan. “Iya, lha kayak Bapaknya dulu waktu kecil, juga nekat. Turunan.”

Elvan tertawa kecil. Di dalam hatinya, dia tahu: perjalanan hari ini bukan hanya soal sampai ke tujuan, tapi soal keberanian untuk melangkah sendiri.

Dan malam itu, di rumah kayu kecil dekat RSUD Soewandhie, Elvan tidur nyenyak, ditemani suara jangkrik dan bau kayu yang menenangkan. Di balik tubuh kecilnya, tumbuh jiwa besar yang perlahan mulai mengenal dunia.

0 comments :

Posting Komentar