Minggu, 25 Mei 2025

Hujan, Ban Bocor, dan Tanggung Jawab Seorang Loper Koran

Subuh masih menyelimuti langit dengan gulita ketika aku bersiap seperti biasa. Udara dingin menyusup hingga ke tulang, tapi aku tak punya pilihan. Sebagai seorang loper koran, tanggung jawabku datang lebih dulu dibanding sinar matahari. Aku mengenakan jas hujan tipis dan memeriksa sepeda panjang andalanku yang sudah menempuh ribuan kilometer di jalan-jalan kota. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, 65 eksemplar Jawa Pos harus sampai ke rumah-rumah pelanggan di perumahan Ploso Timur, Lebak Arum, Gading Pantai, hingga Pantai Mentari.


Namun, pagi ini tak seperti biasa.

Langit mendung sejak dini hari dan angin membawa aroma hujan yang tinggal menetes. Setelah mengambil koran di agen, aku segera memisahkan halaman-halaman penting seperti halaman utama, Metropolis, dan halaman Olahraga. Biasanya halaman-halaman ini jadi andalan pelanggan, jadi aku pastikan semuanya dalam kondisi rapi. Belum sempat menyusun semuanya dengan sempurna di keranjang sepeda, suara gemuruh halus mulai terdengar. Lalu, hujan turun.

Gerimis berubah deras.

Aku dan teman-teman loper lainnya panik. Suasana di depan agen mendadak riuh. "Wah, makin susah ini dilempar!" keluh salah satu teman. Kami semua tahu masalah ini bukan sekadar air—rumah pelanggan rata-rata punya teras yang jauh dari pagar, dan koran yang dilempar dari luar pagar sangat berisiko basah, atau bahkan tersangkut.

Aku segera membungkus koran-koran dengan plastik yang sudah disiapkan oleh bos agen kami. Untungnya, bos cukup perhatian dan tahu kalau hari seperti ini bisa menghancurkan pekerjaan kami jika tak ada perlindungan tambahan. Dengan cepat, aku mulai mengayuh sepeda, berharap hujan segera reda.

Namun, malapetaka belum selesai.

Saat melintasi jalan kecil di dekat Lebak Arum Timur, ban sepeda belakangku tiba-tiba terasa berat. Aku turun, dan benar saja—ban bocor. Air hujan terus mengguyur, menyatu dengan keringat di dahiku. Aku menatap sepeda itu sejenak.

Dalam hati, aku berkata: “Beginilah jadi loper koran… Bahkan ketika hujan turun, bahkan ketika ban bocor, tidak ada pilihan lain selain tetap jalan. Koran harus sampai tepat waktu. Kalau tidak, pelanggan bakal marah. Kalau komplain masuk ke agen, bisa-bisa gaji dipotong. Dan semua kerja keras ini jadi sia-sia.”

Aku dorong sepeda pelan-pelan, berjalan kaki sambil menahan kecewa. Jalanan becek, sepatu basah kuyup, tapi aku tetap menyusuri rute harianku. Satu per satu, rumah pelanggan kudatangi. Kubuka plastik dengan hati-hati dan meletakkan koran di tempat yang aman dari hujan—kadang di atas pagar, kadang kuselipkan di bawah terpal motor pelanggan. Di perumahan dengan pagar tinggi, aku harus mencari cara agar koran bisa masuk tanpa terkena air. Sesekali aku dilempari tatapan curiga dari penghuni rumah yang terbangun karena suara koran jatuh. Tapi aku tetap sabar, tetap berjalan, tetap bertahan.

Pukul 06.45 WIB, akhirnya semua koran sudah terkirim.

Tubuhku menggigil, tangan keriput karena basah, dan sepeda harus kutuntun pulang karena tak bisa dikayuh. Tapi satu hal yang membuatku tetap bisa menegakkan kepala adalah kenyataan bahwa tak satu pun dari 65 koran itu basah. Tidak ada pelanggan yang komplain hari itu.

Dan meskipun pagi itu penuh ujian, aku tahu: menjadi loper koran bukan hanya soal mengantar berita—tetapi tentang tanggung jawab, ketepatan, dan keteguhan hati menghadapi apa pun, bahkan badai.

0 comments :

Posting Komentar