Tiga bulan. Itulah waktu yang kujalani sebagai loper koran dan penagih langganan setiap pagi. Tiga bulan mengayuh sepeda pancal melewati jalan-jalan sempit, portal kampung, hujan, panas, dan kadang disertai keluhan pelanggan. Tapi tiga bulan itu pula yang akhirnya mengantarku pada satu pencapaian kecil namun sangat berarti dalam hidupku: membeli handphone pertamaku—Nokia 2700 Classic.
Setiap pagi, aku bangun sebelum azan subuh. Berangkat setelah sholat subuh di rumah milik agen koranku. Rute pengiriman koranku panjang, dari Bronggalan Sawah hingga Peneleh. Setelah itu, aku lanjut dengan menagih biaya langganan di minggu pagi, membawa struk dari PT Jawa Pos, mencatat setiap transaksi, dan menyetorkan uangnya dengan jujur. Perlahan, tanggung jawabku meningkat. Jumlah pelanggan bertambah, jumlah koran bertambah. Tapi bersamaan dengan itu, kepercayaan bosku pun ikut bertambah.Dalam hati aku sering berkata:
"Aku mungkin hanya seorang loper koran, tapi aku memegang amanah. Aku bekerja jujur, aku belajar, dan aku menabung. Suatu saat, aku pasti bisa membeli apa yang kuinginkan dari hasil jerih payahku sendiri."
Dan saat itu tiba. Ketika jumlah tabunganku cukup, aku tahu barang pertama yang ingin kubeli: sebuah handphone. Bukan sembarang HP, tapi Nokia 2700 Classic. Desainnya sederhana tapi elegan, ada kamera, ada radio, dan bisa internetan pakai GPRS.
Aku tidak pergi sendiri untuk membelinya. Aku mengajak ayahku. Beliau tahu betul seluk-beluk tempat jual beli HP di Surabaya. Kami berdua berangkat dari rumah naik sepeda pancal, aku yang mengayuh, ayah duduk di belakang membonceng. Tujuan kami: WTC Mall, Surabaya.
Di tengah perjalanan aku diam-diam senyum sendiri.
"Akhirnya aku bisa juga beli HP sendiri. Bukan minta. Bukan dikasih. Tapi dari hasil aku kerja keras sendiri. Dari pagi-pagi ngantar koran, dari tagihan pelanggan yang kupegang hati-hati."
Sesampainya di WTC, aku memilih dengan teliti. Melihat etalase satu demi satu, memegang dan mencermati, sebelum akhirnya jatuh pada satu unit Nokia 2700 Classic berwarna hitam mengkilap. Aku menyerahkan uangku dengan tangan sedikit gemetar bukan karena ragu, tapi karena haru.
Setelah HP kubeli, aku tak langsung pulang. Aku menepati niat yang sudah lama kupendam: mentraktir ayah serta membelikan beliau nokia 1112 & mengajak makan di salah satu sudut mall itu, ada warung kecil yang menjual soto daging khas Madura—makanan favorit ayahku. Kami duduk berdua, makan dengan lahap. Ayahku tersenyum bangga, dan aku bahagia bisa membalas sedikit dari apa yang beliau berikan selama ini.
Dalam hati aku berkata:
"Pekerjaan ini mungkin dianggap remeh orang. Tapi dari pekerjaan ini aku belajar bertanggung jawab, aku dipercaya, aku menabung, dan aku bisa membeli apa yang orang lain dapatkan hanya karena diberi. Dan yang paling penting: aku bisa membuat ayah tersenyum bangga."
Nokia 2700 Classic itu bukan sekadar alat komunikasi bagiku. Ia adalah simbol kerja keras, simbol perjuangan, dan simbol kepercayaan yang kujaga dengan sepenuh hati.
Dan sampai hari ini, kenangan itu selalu melekat:
Hari ketika loper koran kecil berhasil membeli HP pertamanya dan mentraktir ayahnya dengan uang hasil peluh sendiri.
0 comments :
Posting Komentar