Minggu, 25 Mei 2025

Lebih dari Sekadar Loper Koran: Amanah di Setiap Halaman


Menjadi loper koran bukan hanya soal mengantar berita pagi ke depan rumah pelanggan. Tugasku lebih dari itu. Aku tidak hanya mengayuh sepeda dari Bronggalan Sawah ke Ploso Timur, melintasi Gading Pantai hingga Pantai Mentari, membawa 65 eksemplar koran setiap hari. Aku juga menjadi perpanjangan tangan dari PT Jawa Pos untuk menagih biaya langganan koran bulanan.

Setiap akhir bulan, dan kadang setiap minggu pagi setelah koran selesai aku antar, aku menyisihkan waktu untuk membawa struk penagihan. Satu per satu kutemui para pelanggan, sebagian sudah hafal dengan wajah dan suaraku. "Ini tagihannya, Pak. Dari Jawa Pos," ucapku sopan sambil menyodorkan lembaran kecil berisi rincian biaya.

Namun, tak semua pelanggan membayar di saat yang sama. Beberapa di antara mereka memilih membayar sekaligus dua atau bahkan tiga bulan. 

"Mas, sekalian saja ya, bayar tiga bulan. Biar nggak repot nanti," kata salah satu pelanggan di daerah gading pantai sambil menyerahkan uang yang dilipat rapi. 

Uang itu kuterima dengan kedua tangan, lalu kumasukkan ke dalam kantong kecil khusus yang tak pernah lepas dari tubuhku setiap kali menagih.

Saat itulah rasa waswas mulai muncul.

“Ini uang jumlahnya besar… Tiga bulan langganan, dari beberapa rumah. Kalau dijumlahkan, bisa sepuluh kali gaji bulananku. Kalau uang ini hilang, atau salah hitung, bisa tamat aku…”

Aku berjalan lebih pelan. Setiap persimpangan jalan aku tengok dua kali. Tak ada waktu untuk ngobrol dengan sesama loper. Tidak ada waktu berhenti untuk sekadar beli teh hangat. 

Yang ada hanya satu: bagaimana caranya amanah ini sampai ke tangan admin PT Jawa Pos tanpa cacat sedikit pun.

Sebagai loper koran yang juga dipercaya menagih, aku sadar benar, kepercayaan itu lebih berat dari tumpukan koran di sepedaku. Aku selalu menghitung ulang uangnya di rumah sebelum aku setorkan. Dan setiap kali menyetor ke bagian administrasi, aku minta bukti setor ditandatangani, supaya tidak ada kesalahan.

Namun, dari 65 alamat yang kutuju setiap hari, tak semua selalu bisa membayar tepat waktu. Ada yang meminta tenggang, ada yang berkata belum pegang uang, bahkan ada yang menghindar ketika aku datang dengan struk tagihan. Tapi aku tak bisa marah. Aku hanya mencatat, dan kembali minggu depan.

Dalam hati, aku selalu berpesan pada diriku sendiri: “Ini bukan sekadar pekerjaan. Ini amanah. Uang ini bukan milikku, dan kepercayaan pelanggan lebih berharga daripada apa pun. Kalau aku jujur dan sabar, Tuhan pasti membalas.”

Hari demi hari berlalu. Walau tubuh lelah, walau hujan turun dan sepeda kadang mogok, aku tetap menjalani semuanya dengan penuh tanggung jawab. Menjadi loper koran, pengantar berita pagi, dan juga penagih langganan—semua dalam satu kaki, satu sepeda, dan satu hati yang selalu berusaha jujur dan bertanggung jawab.


Karena aku percaya, pekerjaan yang dilakukan dengan kejujuran, sekecil apa pun, pasti memiliki nilai yang besar di mata yang Maha Melihat.

0 comments :

Posting Komentar