Setiap pagi seperti ini adalah rutinitas yang sepi tapi penuh makna. Di tengah dinginnya udara sebelum subuh, aku duduk bersila di lantai pos agen, jari-jari tanganku lincah menyusun lembaran demi lembaran. “Halaman utama, lalu olahraga, baru metropolis,” gumamku sambil melipat. Tidak jarang kertas koran menggores kulitku, meninggalkan luka-luka kecil. Tapi siapa peduli? Bagiku, ini bukan sekadar pekerjaan. Ini adalah jalan yang perlahan-lahan sedang kutapaki menuju impian.
Beberapa minggu lalu, aku mendapat promosi rute baru. Rute yang lebih jauh, lebih berat, tapi juga dengan bayaran lebih besar. Saat agen menawarkannya, aku sempat ragu. Tapi dalam hatiku, ada suara yang berkata, “Kesempatan nggak datang dua kali.” Jadi aku terima. Setiap hari aku gowes sepeda tuaku melewati gang-gang kecil dan jalan besar, memastikan koran sampai di depan pintu rumah para pelanggan tepat waktu. Tak jarang aku dihujani keluhan — koran basah, telat datang, atau halaman kurang. Tapi aku belajar menelan semua itu, karena aku tahu, setiap kritik adalah bagian dari perjalanan.
Di sela-sela waktu, aku juga membantu agen menjadi penagih langganan. Mengetuk pintu satu per satu rumah pelanggan, mencatat pembayaran, kadang mendengar keluhan mereka, kadang juga mendapat senyuman dan segelas teh hangat. Aku tahu, menjadi loper bukan profesi yang dipandang orang dengan kagum. Tapi setiap receh yang kuterima, setiap keringat yang jatuh dari dahiku, adalah bekal menuju sesuatu yang lebih baik.
Tabunganku perlahan tumbuh. Aku mulai menghitung hari, bukan dengan kalender, tapi dengan jumlah setoran di celengan besi kecil yang kusembunyikan di bawah kasur. Setiap kali aku memasukkan uang ke dalamnya, aku membayangkan sebuah motor — bukan yang mewah, cukup yang sederhana, yang bisa membawaku lebih cepat membagikan koran, lebih hemat tenaga, dan mungkin... lebih dekat ke masa depan yang layak.
Dan akhirnya, hari itu datang. Hari ketika aku berdiri di depan dealer motor dengan dada bergetar. “Ini uangnya, hasil saya nabung dari loper koran,” ucapku pada petugas dengan tangan sedikit gemetar. Ia menatapku, lalu tersenyum. Saat kunci motor diserahkan ke tanganku, aku menunduk, menyembunyikan air mata yang tiba-tiba jatuh tanpa permisi. Aku memeluk motor itu dalam diam — bukan karena bentuknya, tapi karena setiap bagiannya terbuat dari perjuangan.
Sekarang, setiap pagi aku masih bangun sebelum subuh. Tapi bedanya, aku tak lagi mengayuh sepeda dengan lutut yang ngilu. Aku naik motorku, melaju pelan dalam dingin pagi yang tetap menggigit. Dan setiap suara deru mesinnya adalah pengingat — bahwa aku pernah lelah, pernah hampir menyerah, tapi tetap memilih berjalan. Karena aku percaya, walau pelan, langkah yang terus dijalani akan membawa pada sesuatu yang lebih baik.
Di balik aroma tinta koran dan suara lembaran yang berdesir, ada cerita yang tak terbaca oleh pembaca: tentang anak loper yang bangun sebelum subuh, mengoplos koran dalam diam, menabung receh demi receh, lalu suatu hari... mengendarai motor barunya dengan bangga. Bukan karena ingin pamer, tapi karena di balik motornya, ada sebuah mimpi yang pelan-pelan berhasil ia wujudkan sendiri.
0 comments :
Posting Komentar